Oleh: Ilham Efendi (Direktur RIC)
Pada Perang Dunia II, Jenderal McArthur dan Winston Churchill membuat doktrin yang dikenal kemudian dengan sebutan ‘Doktrin McArthur-Churchill’. Ini adalah suatu skenario penguasaan kawasan Asia-Pasifik pasca Perang Dunia II. Khusus bagi Indonesia, doktrin ini membagi Kepulauan Indonesia menjadi tiga kawasan, yakni Kawasan Malesia (Sumatera dan Kalimantan), Kawasan Melanesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua), dan Pusat Layanan (Jawa dan Bali).
Menurut doktrin itu, kawasan Malesia disubordinasikan ke Semenanjung Malaysia dan Daratan Asia Tenggara, menjadi ‘Great Malesian Region. Sedangkan Kawasan Melanesia disubordinasikan ke Kepulauan Philippines dan negara-negara Pacific (Australia dan sekitarnya), menjadi ‘Great Melano-Polynesian Region.’ Terakhir Pulau Jawa dan Bali yang menurut rencana akan dijadikan ajang operasi intelijen menggantikan peran strategis Singapura.
Doktrin itu menjadi acuan Amerika dalam menyusun strategi menguasai Indonesia secara geostrategis maupun geopolitik. Tampaknya doktrin ini masih berlaku dan semakin terbukti dengan adanya cengkeraman Amerika yang kian kuat di Indonesia. Bisa jadi Kedubes AS di Jakarta akan menjadi pusat layanan di kawasan ASEAN dan Pasifik seperti yang direncanakan doktrin itu.
Sudah jamak diketahui publik bahwa intervensi politik – militer AS atas wilayah Asia – Afrika menimbulkan banyak dinamika politik. AS diduga berperan atas Lahirnya era reformasi tak lepas dari keinginan AS setelah Soeharto tak mau lagi tunduk pada pemerintahan Washington. Berbagai jalan dilakukan untuk menjatuhkannya termasuk menggunakan LSM.
Beberapa jam sebelum Soeharto lengser, Menlu AS ketika itu Madeline Albright mengisyaratkan supaya Presiden Soeharto mundur agar krisis terpecahkan. Bersamaan dengan itu, pemerintah AS mengumumkan telah mengirimkan sebuah kapal induk Belleau Wood yang dilengkapi dengan helikopter dan pesawat-pesawat jet tempur serta dua kapal pendukung, lengkap dengan 2000 serdadu marinir ke Teluk Jakarta untuk melakukan “evakuasi militer”. (Kompas, 21/5/1998).
Menurut informasi yang berkembang, ketika kerusuhan Mei 1998 meletus, ada pengacakan sinyal di Jakarta sehingga mengganggu komunikasi aparat keamanan. Dugaan kuat, pengacak sinyal itu ada di Kedubes AS di Jakarta.
Dalam temuan Wikileaks terungkap pula betapa besar peran para diplomat yang ada di Jakarta dalam menentukan kebijakan pemerintah Amerika terhadap Indonesia. Secara berkala, para diplomat di Jakarta mengirimkan pengamatannya ke Washington. Semua yang terjadi di Indonesia menjadi bahan laporan.
Kejahatan Amerika itu juga tersebar luas di dunia Islam. Di Irak, lebih dari 1 juta kaum Muslim menjadi korban serangan Amerika. Dengan dalih demokrasi, Amerika menebar bom-bom kimia di Irak dan mengembargo rakyatnya lebih dari 10 tahun.
Senjata AS tercatat sudah membunuh ribuan rakyat Palestina mulai segala tingkatan, perempuan dan anak-anak. Senjata-senjata itu dipergunakan oleh Israel, tanpa pernah dicegah sama sekali. Amerika membiarkan pembantaian warga Palestina oleh tentara Israel secara keji.
Di Afghanistan, ratusan ribu kaum Muslimin tewas di tangan tentara Amerika. Banyak di antara mereka adalah warga yang tak tahu apa-apa. Embargo Amerika di negeri itu juga menyebabkan sedikitnya 15 ribu anak Afghanistan meninggal dunia.
Di Somalia, tentara Amerika membunuh ribuan orang sipil ketika AS menyerbu negara itu. Hal yang sama dilakukan terhadap Sudan di mana Amerika mengirimkan misil-misilnya yang membunuh ratusan orang.
Itu belum termasuk tindakan AS di Chechnya, Bosnia, Macedonia, Kosovo, Kashmir, dan negeri Muslim lainnya.[]