Manuver Menko Luhut di Meikarta
Oleh : Hersubeno Arief*
Taipan pengembang James Riady hari Minggu (29/10) punya hajat besar melakukan topping off dua tower bangunan yang disebut akan menjadi kota Meikarta.
Sebagai taipan besar, tamu yang datang tentu juga orang-orang besar dan penting. Diantara yang hadir tampak Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan, tangan kanan Presiden Jokowi.
Hadirnya Luhut menunjukkan bahwa acara tersebut sangat penting dan serius. Sebab bila dilihat dari posisinya sebagai Menko Maritim, maka sebenarnya prosesi topping off (pemasangan atap) tower itu tidak nyambung dan tidak kaitannya dengan jabatannya.
Media-media yang selama ini sangat rajin memuat apapun kegiatan Meikarta, menyebut nama Luhut lengkap dengan jabatannya. Jadi walaupun kegiatan ini dilakukan pada hari libur, namun dapat dipastikan sebagai kegiatan resmi.
Beberapa kutipan pernyataan Luhut dalam kegiatan itu kian menegaskan bahwa kehadiran Luhut adalah resmi sebagai pejabat negara.
Banyak pengguna media sosial yang terheran-heran dan bertanya (karena media mainstream tidak ada yang mempersoalkan), “Apa hubungannya antara Meikarta dan Menko Maritim? Apakah situasi di daratan sudah demikian genting, sehingga pejabat di lautan harus turun tangan?”
Mau dicari-cari dan dicocok-cocokkan, bahkan kalau dalam bahasa Jawa “diotak-atik gathuk” (dipaksakan untuk cocok) juga tidak akan nyambung. Lain halnya bila yang hadir Menteri PU dan Perumahan Rakyat, atau setidaknya Menko Perekonomian.
Bila melihat sepak terjang dan perjalanan karir Luhut di pemerintahan Jokowi, hadirnya Luhut di Meikarta bisa dipahami dari beberapa sudut pandang dan kepentingan.
Pertama, kehadiran Luhut menegaskan dukungan pemerintahan Jokowi terhadap proyek Meikarta. Ini merupakan isyarat dan pesan yang sangat jelas dan terang benderang bagi Pemprov Jabar, dalam hal ini Wagub Deddy Mizwar (Demiz) yang selama ini mempermasalahkan proses pembangunan Meikarta.
Sebelumnya Mendagri Tjahjo Kumolo pada sebuah kesempatan juga sempat menyindir Demiz. Karena dinilai menghambat program investasi yang sangat diagung-agungkan oleh pemerintah.
Presiden Jokowi sejauh ini belum pernah menyampaikan pernyataan apapun soal sengkarut Meikarta. Namun bila keadaan memaksa, kemungkinan besar Presiden Jokowi juga akan angkat bicara, seperti pada kasus reklamasi. Kedatangan Luhut tidak bisa diragukan lagi sebagai pertanda bahwa dia hadir ‘on behalf of Presiden’.
Sebagai orang kepercayaan Jokowi, Luhut dikenal sebagai ‘troubleshooter’ yang tidak segan untuk pasang badan ketika muncul persoalan yang berkaitan dengan kepentingan politik pemerintah. ‘Tour of duty’-nya di kabinet, makin menunjukkan bahwa Jokowi sangat mengandalkan, bahkan bergantung kepadanya.
Luhut memulai debutnya sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP), kemudian bergeser menjadi Menko Polhukam, dan terakhir menjadi Menko Maritim. Ketika menjadi Menko Maritim Luhut juga sempat menjabat sebagai Menteri ESDM ketika ribut-ribut kewarganegaraan Arcandra Tahar yang dicalonkan sebagai menteri ESDM.
Sebagai Menko Maritim Luhut menangani beberapa proyek besar seperti perpanjangan kontrak dengan Freeport, dan yang paling monumental ketika dia pasang badan dalam program Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Kasus reklamasi ini membuat Luhut berhadapan dengan pasangan Anies-Sandi sebagai penguasa baru Jakarta. Luhut juga harus berhadapan dengan perlawanan alumni dari berbagai perguruan tinggi, serta para penggiat lingkungan dan HAM. Semua dijabani oleh Luhut.
Ketika berlangsung hiruk pikuk Aksi Bela Islam, dan Ahok menghina Ketua MUI KH Ma’ruf Amien di persidangan, dengan sigap Luhut mengajak Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya menemui Ma’ruf di rumahnya. Soal ini sebenarnya juga tidak dalam kewenangan Luhut. Harusnya yang mengambil peran adalah Menko Polhukam Wiranto
Tapi itulah Luhut, “Man for all seasons and situations.” Berbagai manuver Luhut ini sebenarnya bisa menjelaskan mengapa Luhut kemudian muncul di ‘topping off’ Meikarta.
Kedua, sebagai seorang troubleshooter kehadiran Luhut bisa dimaknai ada suatu masalah yang harus segera diselesaikan di Meikarta. Selain persoalan perizinan, Meikarta nampaknya menghadapi problem tidak dapat memenuhi infrastruktur penunjang yang dijanjikan.
Dalam berbagai brosur dan iklan yang disebar secara massif, Meikarta menjanjikan kawasan seluas 500 hektar itu akan terhubung dengan berbagai moda transportasi yang kini tengah dibangun pemerintah, antara lain kereta api cepat Jakarta-Bandung.
Belum lagi sederet fasilitas seperti pembangunan Patimban Deep Seaport, pembangunan bandara internasional Kertajati, dan pembangunan jalan tol Jakarta-Cikampek Elevated Higway.
Dari semua infrastruktur tersebut yang benar-benar terhubung dan akan menjadi andalan Meikarta adalah kereta api cepat Jakarta-Bandung. Salah satu transit oriented development(TOD) atau stasiun besar kereta cepat, langsung menempel dengan Meikarta.
Masalahnya sejak dilakukan ‘ground breaking’ oleh Presiden Jokowi pada Januari 2016, sampai sekarang proyek yang menelan dana sampai Rp 75 trilyun, dan ditargetkan mulai operasi awal 2019 itu belum bergerak. Sementara Meikarta menjanjikan serah terima hunian pada Desember 2018.
Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi dengan lalu lintas sepanjang jalur Jakarta-Cikampek, bila target awal mereka sebanyak 250 ribu apartemen sudah terbangun dan dihuni oleh 1 juta orang. Pemerintah saat ini tengah membangun Jakarta-Cikampek Elevated Highway untuk mengurai kemacetan dahsyat sepanjang jalur ini. Dengan bermukimnya 1 juta warga baru di Meikarta, akan membuat jalur ini benar-benar menjadi jalur neraka.
Soal ini pasti membuat galau ratusan ribu konsumen yang katanya sudah membeli apartemen di Meikarta. Sebagai troubleshooter Luhut kembali beraksi. Dia menyatakan pemerintah akan mempertimbangkan pembangunan Light Rail Transit (LRT) yang semula direncanakan hanya sampai Bekasi, diperpanjang sampai Meikarta.
Pernyataan Luhut ini harus dilihat sebagai bahasa marketing, bukan bahasa seorang pejabat negara. Sampai saat ini pembangunan LRT Jabodetabek sedang mengalami persoalan pendanaan. Untuk menyelesaikan proyek tersebut, DPR sudah menyetujui pengalihan dana penyertaan modal negara (PMN) PT KAI sebesar Rp 2 triliun dari pembangunan kereta api Sumatera ke LRT.
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri memprediksi proyek LRT akan mangkrak, karenanya dia menyarankan untuk ditunda. Sekjen DPP PAN Eddy Soeparno mengatakan mendengar banyak supplier proyek LRT yang belum dibayar.
Dengan kondisi proyek LRT terancam mangkrak, bagaimana mungkin Menko Luhut berpikir untuk memperpanjangnya sampai Meikarta?
Proyek Meikarta bila tidak ditangani dengan serius, bisa menjadi bom waktu bagi pemerintahan Jokowi. Mereka akan dinilai sebagai pemerintahan yang disetir pengembang. Proyek ini juga bisa menjadi sumber ketegangan baru antara pemerintah pusat dengan Pemprov Jabar, dan simpul-simpul masyarakat madani (civil society) yang sejak awal menentangnya.
Mari kita tunggu aksi dari Menko Luhut berikutnya. Bisakah dia meredam perlawanan di Meikarta? Sementara sengkarut di pulau reklamasi Jakarta juga belum dimenangkannya. []
* Hersubeno Arief, Jurnalis Senior
Sumber: republika.co.id