Manuver Jokowi Atur Posisi Keluarganya adalah Fenomena Buruk

Mediaumat.info – Manuver Presiden Jokowi yang mulai mengatur posisi anak dan mantunya, seperti Kaesang diusung jadi wali kota Solo dan Erina jadi bupati Sleman dinilai Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky sebagai fenomena yang buruk dalam perpolitikan demokrasi.

“Saya pikir itu (manuver Jokowi mengatur anak dan mantu) sangat buruk,” ujarnya dalam Kabar Petang: Loh! Jokowi Atur Posisi Gibran, Bobby, Kaesang hingga Erina Gundono, Sabtu (23/3/2024) di kanal YouTube Khilafah News.

Karena, Indonesia adalah negara demokrasi, bukan otokrasi. Di dalam sistem otokrasi pun, jelas Wahyudi, dari awal orang ketika mau menjadi pemimpin harus dididik terlebih dahulu dari kecil hingga dewasa atau usia matang orang tersebut siap jadi pemimpin.

“Bahkan dari kecil sudah dicarikan guru yang terbaik, dicarikan pelatih yang bagus, dicarikan pengalaman yang baik supaya tahan uji, menjadi jiwa leadership, dan memiliki kemampuan yang baik, lha itu dari awal sudah muncul, dan kalau dia terjadi kekeliruan, kegagalan, penindasan dan menjadi pemeras rakyat dan seterusnya itu jelas alamatnya bahwa ini adalah dinasti A atau dari keturunan kerajaan A atau keturunan otokrasi A,” bebernya.

Jadi, bebernya, rakyat itu jelas kalau pemerintahannya zalim, menindas, memajaki rakyat itu tidak mengatasnamakan rakyat, namun mengatasnamakan dinasti politik yang berkuasa saat itu. “Atau trah dari kerajaan atau otokrasi tersebut,” ujarnya.

Demokrasi

Lain hal dengan sistem demokrasi. Menurutnya, dinasti itu muncul dari orang apa saja dan dengan latar belakang apa saja serta background apa saja.

“Tetapi ketika dia punya modal, dia punya kekuatan politik, dia punya trah politik, dia bisa naik dan mendapatkan jaminan politik dan kalau dia melalui proses demokrasi menduduki jabatan politik maka dia mendapatkan legalitas dari orang yang kapitalis,” ungkapnya.

Sehingga, kata Wahyudi, itu atas nama rakyat, jadi kalau nanti duduk menaikkan pajak kemudian mempraktikkan ke rakyat bahkan menindas rakyatnya itu dilakukan atas nama rakyat.

“Jadi ini menurut saya jauh lebih kejam dari otokrasi kalau para aktor dinasti politik berlanjut atau melanggengkan sampai mendapatkan kursi-kursi kekuasaan,” bebernya.

Jadi dinasti dalam proses demokrasi itu, lanjutnya, memberikan dampak negatif di masyarakat yang lebih buruk, karena dia (dinasti lahir dari demokrasi) ketika menindas rakyat dan memajaki rakyat itu mengatasnamakan rakyat.

“Beda kalau dia memang lahir dari trah otokrasi dalam sistem demokrasi mungkin dia mengatasnamakan keluarga kerajaan apa, jadi rakyat tahu persis zalim, menindas ini, atau memajaki rakyat ini atas nama raja bukan atas nama rakyat,” ungkapnya.

Dan hal tersebut bebernya, justru memilukan rakyat dan buruk bagi pendidikan politik rakyatnya. “Dan juga buruk menjadi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi

Share artikel ini: