Mantan Koruptor Jadi Caleg, Pamong Institute: Aturan Demokrasi Membolehkannya

Mediaumat.id- Penemuan mantan koruptor yang ada di dalam daftar calon sementara (DCS) Pemilu 2024 oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) baik di tingkat DPR RI maupun DPD RI, menurut Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky karena memang ada aturan yang membolehkan.

“Terkait dengan eks koruptor yang pernah jadi caleg ini disebabkan karena adanya aturan yang membolehkan hal itu,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Kamis (1/9/2023)

Menurutnya, seandainya tidak ada aturan yang membolehkan tentu eks napi koruptor ini tidak boleh ikut mencalonkan kembali. “Kita tahu bahwa aturan atau hukum yang ada dalam negara demokrasi itu dibuat oleh para politisi yang kebanyakan mereka juga punya kepentingan dan bahkan mungkin sebagian tersandera atas kasus-kasus korupsi. Sehingga suka atau tidak suka, tentu mereka membuat aturan yang menguntungkan bagi mereka,” ujarnya.

Ia mengatakan, itulah lahir aturan yang boleh atau yang membolehkan eks napi koruptor untuk bisa berkompetisi lagi atau ikut dalam kontestasi pesta demokrasi, menjadi caleg maupun calon kepala daerah yang maupun menjadi pejabat publik yang lain.

Semua Pilar

Wahyudi menilai bukan hanya caleg, tapi semua pilar demokrasi, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif, semua telah berpartisipasi dalam praktik korupsi di negara demokrasi. Bahkan semua pilar itu ikut andil dan mengirim kader-kader mereka untuk terlibat dalam korupsi.

“Kita bisa tahu mulai dari dari pilar yang eksekutif, misalnya. Itu kan terakhir menterinya Pak Jokowi yang dari Menkominfo itu tersangkut kasus korupsi yang terbaru itu,” ujarnya.

Sebelumnya, jelas Wahyudi, menteri-menteri juga ada beberapa. Itu level menteri. Kemudian level kepala daerah sangat banyak. Apalagi level Kepala Dinas, level Camat sampai Lurah. “Mungkin ‘Pak Lurah’ yang belum tersangkut korupsi ini, mungkin karena masih berkuasa,” ungkapnya.

Di kalangan legislatif, kata Wahyudi, bisa dilihat dari DPD yang tertangkap, ada DPR RI yang tertangkap, ada juga DPRD begitu banyak yang tertangkap. Bahkan ada berapa kabupaten hampir sebagian besar DPRD nya tersangkut kasus korupsi.

Misalnya, ada di Malang, ada juga di Bogor, ada juga kemarin di Jambi dan lain sebagainya. “Itu menandakan bahwa pilar demokrasi di bidang legislatif ini banyak sekali tersangkut kasus korupsi,” tegasnya.

Terus di bidang yudikatif, Wahyudi meihat juga tidak kalah banyak yang terlibat. Mulai dari hakim agung sampai hakim biasa juga pernah. Bahkan sampai ketua MK yang sebagai benteng konstitusi juga tersangkut kasus korupsi.

“Kita ingat itu Pak Akil itu ketua MK yang lama. Dan saya pikir inilah bukan hanya di level hakim, tetapi juga di kejaksaan, kepolisian, aparat penegak hukum yang lain juga tersangkut kasus korupsi,” bebernya.

“Nah kalau kita melihat ini berarti memang mereka juga harus membuka ruang bahwa eks koruptor boleh jadi anggota legislatif, boleh jadi calon kepala daerah dan seterusnya. Itu kenapa demikian? Karena aturan dalam sistem demokrasi yang membuat juga mereka-mereka juga. Akibatnya tentu yang menguntungkan mereka,” tandasnya.

Mayoritas Membiarkan

Wahyudi menyesalkan, mayoritas rakyat Indonesia justru membiarkan hal ini terjadi dan tidak melakukan protes.

“Kita bisa melihat bahwa mayoritas rakyat negeri ini membiarkan hal itu terjadi dan tidak melakukan protes besar-besaran. Mungkin nanti suatu saat rakyat juga akan marah dan sama akan tetapi untuk sementara ini rakyat masih membiarkan. Itu pertanda bahwa bangsa ini masih cinta pada korupsi dan praktik-praktik korupsi lain,” ujarnya.

Padahal sesungguhnya, katanya, negeri sebenarnya tidak kurang para politisi yang baik. “Banyak sekali tokoh-tokoh politik, tokoh-tokoh aktivis kita yang berkualitas baik, tetapi biasanya mereka tidak bisa eksis karena tentu mereka akan dianggap tidak kooperatif dengan sistem yang ada dengan teman-teman yang sedang praktik korupsi. Sehingga mereka dengan mudah dituding radikal, kemudian dipinggirkan, dianggap sulit untuk diajak kerja sama dalam praktik korupsi,” terangnya.

Wahyudi mengatakan, biasanya karena orang-orang ini adalah orang yang idealis. “Mereka takut dosa sehingga akhirnya ada istilah kelompok Taliban segala macam itu orang yang dahinya hitam, janggutnya panjang, celana cingkrang dan segala macam itu, tetapi biasanya orang-orang itu antikorupsi,” katanya.

Menurutnya, justru orang-orang seperti ini yang dianggap tidak bisa diajak kerja sama sehingga disingkirkan dengan cara dituding radikal. Itu bisa dilihat hampir di semua instansi juga demikian. Kalau ada orang tampak idealis mereka dianggap garis keras, dituding radikal atau intoleran.

“Itu menandakan Negeri Ini masih cinta pada korupsi,” tegasnya.

Bahaya

Wahyudi mengungkap bahaya bagi masyarakat kalau para eks koruptor ini bisa lagi eksis di praktik-praktik eksekutif maupun legislatif atau pejabat publik yang lain.

“Tentu mereka akan menjadi orang yang sangat berpengalaman dalam praktik korupsi. Tentu mereka akan lebih lihai lagi. Kalau dulu sempat tertangkap berarti mungkin mereka akan lebih mengantisipasi. Bahkan juga bisa mengubah aturan-aturan atau membuat aturan yang lebih mengamankan mereka,” jelasnya.

Menurutnya, ini jauh akan lebih berbahaya karena berarti bisa praktik yang lebih canggih lagi. Mereka akan lebih lihai dalam menjalankan praktik-praktik yang korupsi.

“Bisa jadi perangkat koruptif itu akhirnya bisa dilegalkan oleh mereka, karena sama-sama membuat aturan yang bisa melegalkan itu,” ujarnya.

Itulah dalam sistem demokrasi, menurutnya, sesuatu nilainya bisa dianggap korupsi tapi suatu saat bisa diubah undang-undang dianggap tidak korupsi lagi dan dianggap legal.

“Itu kalau kita biarkan jika eks koruptor tadi diberi peluang untuk bisa eksis kembali, tentu mereka akan lebih canggih, lebih pandai bermain, lebih lihai bermain dan tentu kita akan semakin sulit membersihkan korupsi di negeri kita,” tegasnya.

Solusi

Wahyudi mengatakan, untuk mencari solusi yang terbaik, tentu tidak sekadar mengisi orang-orang yang shalih dalam sistem pemerintahan sistem politik negeri ini.

“Tentu juga kita memperbaiki sistemnya. Sistem membuat undang-undang yang diberikan kepada legislatif, apalagi orang yang ada di sana adalah sebagian punya kepentingan partai politik dan seterusnya, tentu akan sulit menghadirkan suatu hukum yang adil. Karena kuncinya adalah menggunakan hukum yang adil dari Zat yang Mahaadil yaitu hukum yang turun dari Allah SWT, syariat Islam,” ujarnya.

Wahyudi menegaskan, solusinya harus mengganti sistem politik demokrasi yang begitu mahal dengan sistem politik yang lebih murah, lebih efisien, lebih baik.

“Sistem terbaik tentu sistem yang berasal dari zat yang maha baik yang dari Allah SWT yakni syariat Islam. Kemudian juga kita harus mengganti orang-orang. Mengisi sistem yang baik itu dengan orang-orang yang baik, orang-orang shalih, orang yang amanah, yang tentu bisa dipilih. Banyak sekali anak negeri ini yang cukup baik, cukup amanah, cukup integritasnya dan kita tentu tidak kekurangan stok SDM seperti itu. Kalau selama ini mungkin tidak muncul hanya karena mereka terpinggirkan,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: