Makin Kentara Kekuasaan Ingin Mengendalikan Cabang Kekuasaan Lainnya

Mediaumat.info – Fenomena Mahkamah Konstitusi dan rencana revisi UU MK menjadi UU yang disinyalir akan menyebabkan Saldi Isra dipecat, Ahli Tata Negara Refly Harun menyatakan makin lama, makin kentara kekuasaan ingin mengendalikan cabang kekuasaan lainnya.

“Inilah sontoloyonya negeri kita, makin lama makin kentara kekuasaan, ingin mengendalikan cabang kekuasaan lainnya, tidak membiarkan orang independen,” tuturnya dalam Breaking News! Saldi Isra Dipecat? di kanal YouTube Refly Harun, Jumat (17/5/2024).

Refly pun mengutip pernyataan mantan Ketua MK Mahfud MD yang menyatakan sejumlah hakim konstitusi bisa mendadak diberhentikan lembaga pengusulnya, jika RUU MK disahkan.

“Sejumlah hakim yang dimaksud, wakil ketua MK, Saldi Isra dan Jubir Hakim MK, Eni Nurbaningsih. Keduanya adalah desenter atau yang menyampaikan desenting opinion dalam sengketa pilpres. Serta ketua MK Suhartoyo yang datang dari lembaga pengusul Mahkamah Agung,” tambahnya.

Suhartoyo sebelum melipir dalam pilpres kemarin, lanjutnya, dianggap sebagai hakim yang lumayan baik, karena termasuk disenting Gibran.

“Eni tidak ya, oleh sebab itu Mahfud mengaku saat menjabat Menkopolhukam dalam kabinet pemerintahan Jokowi, dirinya menolak pembahasan RUU itu, karena dikhawatirkan mengganggu independensi hakim jelang pilpres 2024,” tuturnya.

Refly pun mengisahkan video Mahfud dalam reel Instagram.

“Saya menolak pengesahan RUU MK itu terutama terkait peraturan peralihan pasal 87, karena isinya menurut saya tidak umum, yang umum itu kalau ada aturan baru, yang sudah ada itu dianggap sah, sampai selesainya masa tugas,” ungkap Rerfly meniru omongan Mahfud.

“Nah, ini enggak konsisten juga, ada perubahan peraturan 15 tahun, kok yang 5 tahun itu tidak diselesaikan dulu,” sesalnya.

Ia menganggap ini bisa menjadi masalah karena semua hakim konstitusi itu diangkat dengan komitmen 5 tahun, kecuali pengangkatan baru, seperti Ridwan Mansur dan Arsul Sani.

“Di RUU itu disebutkan dengan berlakunya undang-undang itu maka hakim MK yang sudah menjadi hakim lebih dari 5 tahun dan belum 10 tahun, akan atau harus dimintakan konfirmasi ke lembaga yang mengusulkannya,” kisahnya.

Refly masih mengutip ketidaksetujuan Mahfud waktu itu karena bisa mengganggu independensi hakim MK pada waktu menjelang pilpres.

“Konsekuensi pemberhentian hakim secara mendadak oleh pengusulnya merujuk pada bunyi klausul pasal 23a, RUU MK, yang mengatur soal evaluasi hakim mahkamah,” lanjutnya.

Pasal itu menyebutkan, hakim mahkamah maksimal hanya bisa menjabat selama 10 tahun dan dievaluasi setiap 5 tahun.

“Artinya, setiap 5 tahun, hakim MK wajib dikembalikan ke lembaga pengusul yakni Presiden, DPR dan Mahkamah Agung untuk dievaluasi kembali. Ini Sontoloyonya,” pungkasnya. [] Nita Savitri

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: