Mahkamah Agung AS Berupaya Batalkan Hak Aborsi, Begini Tanggapan Aktivis Muslimah
Mediaumat.id – Upaya Mahkamah Agung Amerika Serikat untuk membatalkan hak aborsi yang mendapat penentangan dari masyarakat AS dinilai Aktivis Muslimah Iffah Ainur Rochmah sebagai pelajaran bagi umat Islam di Indonesia untuk tidak abai terhadap fenomena kebebasan.
“Jadi, apa yang terjadi di Amerika hari ini, masyarakat protes kemudian kepala negara juga menentang apa yang sedang dirancang oleh Mahkamah Agung untuk membatalkan aborsi, membatalkan yurisprudensi Roe versus Wade, ini mestinya bisa memperingatkan kita agar tidak abai terhadap fenomena atau gelombang kebebasan,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Kamis (5/5/2022).
Iffah mengingatkan, mestinya umat mewaspadai itu sebagai satu gelombang menuju pada kerusakan dan kehancuran masyarakat.
“Dan mestinya kita tidak memberikan celah bagi lahirnya regulasi dalam bentuk apa pun yang membuka pintu-pintu kebebasan apalagi kemudian secara spesifik membuka pintu kebebasan atas nama hak reproduksi yakni perempuan kemudian boleh hamil ataupun tidak hamil dalam pernikahan ataupun di luar pernikahan dan perempuan juga diberi hak atau kebebasan untuk mengaborsi janin yang tidak diinginkannya. Apakah itu dalam sebuah pernikahan ataukah di luar pernikahan,” bebernya.
Pelajaran
Menurutnya, apa yang terjadi di Amerika Serikat seharusnya menjadi pelajaran bagi umat Islam semua, jangan sampai umat Islam mengulang mendapati kondisi buruk sebagaimana yang terjadi di Amerika.
“Kalau bicara tentang apa yang dilakukan oleh masyarakat saat ini, khususnya kaum perempuan itu berdemo ketika mengetahui atau ketika ada kebocoran data atau informasi MA akan mengadili sebuah kasus yang dimungkinkan keputusannya adalah membatalkan hak aborsi,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, di Amerika itu ada semacam yurisprudensi, semacam keputusan pengadilan yang kemudian diikuti oleh pengadilan-pengadilan berikutnya terkait hak aborsi.
“Apa yang disebut sebagai Roe vs Wade. Ini adalah sebuah kasus yang diajukan ke pengadilan 50 tahun yang lalu, seorang perempuan hamil tanpa punya suami, kemudian mengajukan untuk mendapatkan hak mengaborsi kehamilannya, perempuan ini, Roe namanya, akhirnya memang memenangkan kasus itu dan mendapatkan hak aborsi. Keputusan inilah yang kemudian diikuti oleh hakim hakim di pengadilan pengadilan berikutnya hingga berjalan sekarang sekitar 50 tahun,” bebernya.
Berlakunya hak aborsi tersebut, kata Iffah, memang sejalan dengan apa yang dikampanyekan oleh Amerika yakni masyarakat Amerika maupun pemerintah Amerika tentang kebebasan.
“Jadi, masyarakat secara umum maupun pejabat-pejabat negara bahkan termasuk Pemerintah Joe Biden dan itu tentu menentang apa yang saat ini sedang direncanakan atau sedang digodok oleh Mahkamah Agung untuk memberikan keputusan pembatalan terhadap hak aborsi yang sudah berjalan hampir 50 tahun tadi,” terangnya.
Menurutnya, Joe Biden menganggap ini bisa menjadi preseden buruk atau bisa menjadi hal yang negatif bagi berlakunya kebebasan dan bisa menjadi preseden untuk melarang atau menghambat hak publik yang lain seperti hak memilih, hak pernikahan sejenis, hak menggunakan kontrasepsi, dan seterusnya.
Kalau terkait hak aborsi memang di Amerika, kata Iffah, dalam beberapa puluh tahun terakhir ini juga sudah terus dikembangkan. “Apa yang disebut sebagai kebebasan tersebut wujudnya adalah ada kelompok masyarakat ataupun rezim yang pro-life dan ada yang pro-choice, yang pro-life itu menganggap bahwa aborsi ini berarti menghilangkan hak hidup, berarti tidak boleh aborsi atau cenderung tidak memberikan kebebasan untuk mengaborsi. Tapi pada sisi yang lain juga sangat kuat pengaruh mereka yang pro-choice, yang menghendaki bahwa individu itu tidak boleh dibatasi untuk memilih apakah mengaborsi atau tidak mengaborsi janin yang dikehendaki dan tidak dikehendaki,” jelasnya.
Pelajaran II
Menurutnya, ini adalah pelajaran besar bagi kaum Muslim khususnya di negeri ini ketika membiarkan kebebasan itu sebagai satu hal yang seolah positif maka ini bisa berkembang menjadi penentangan terhadap banyak sekali hukum-hukum Allah.
“Dan manusia ini kalau diberi kebebasan maka manusia ini akan liar, akan melakukan banyak sekali keburukan-keburukan atas nama kebebasan itu. Banyak sekali kerusakan termasuk pergaulan bebas itu adalah buah dari kebebasan, kemudian ketika kebebasan itu terus dikembangkan, bahkan di dalam sebuah ikatan pernikahan pun banyak orang yang tidak menghendaki untuk memiliki keturunan dan mereka dengan bebas juga bisa saja menuntut untuk ada hak bagi mereka untuk melakukan aborsi,” katanya.
“Bagaimana jadinya negeri ini bila hak aborsi itu pun kemudian juga sudah menjadi semacam tuntutan juga di beberapa kalangan, aktivis-aktivis liberal, aktivis pro kesetaraan gender? Mereka menganggap bahwa hak aborsi itu mestinya diberikan terutama untuk kasus-kasus yang disebut apakah itu kasus perkosaan atau kasus kehamilan yang tidak diinginkan dan seterusnya,” imbuhnya.
Khawatir Menular
Ia sangat khawatir ini bisa menular ke Indonesia fenomena di Amerika ini karena beberapa waktu yang lalu di negeri ini sudah disahkan rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi undang-undang.
“Disahkannya sebenarnya dilatarbelakangi oleh tuntutan kebebasan dan disahkannya juga mengabaikan aspirasi publik, aspirasi umat Islam, aspirasi kita, para ibu, para perempuan yang ingin taat syariah ya karena di dalam undang-undang yang baru ini kemudian kekerasan hanya dibatasi ketika ada unsur paksaan maka ketika aborsi itu dilakukan dengan sukarela itu tidak termasuk kekerasan termasuk juga ketika hubungan seksual itu dilakukan dengan sukarela atas nama kebebasan atau hak maka itu tidak disebut sebagai kekerasan seksual,” ungkapnya.
Ia berharap semoga ini bisa menjadi dorongan bagi umat Islam untuk terus serius membina masyarakat agar punya kesadaran untuk memberlakukan syariat.
“Dan memberlakukan syariat tidak cukup dalam lingkup individu dan keluarga tapi juga harus ada aspirasi untuk menjalankan syariat atau mengimplementasikan syariat-syariat secara sistemik melalui berlakunya hukum-hukum syariat sebagai regulasi yang ditetapkan sebagai konstitusi dan perundang-undangan,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it