Mediaumat.id – Pernyataan Menkopolhukam Mahfudz MD bahwa ada ekstremis ideologi yang mengarah pada umat Islam, dinilai oleh Pengamat Politik Internasional Umar Syarifudin tidak tepat. “Menurut saya, pendapat itu tentu saja tidak tepat,” tuturnya dalam acara Kabar Petang: Menyoal Ekstremisme Negara Kapitalisme Liberal, Rabu (9/2/2022) di kanal YouTube Khilafah News.
Menurutnya, perlu diteliti lagi, apakah betul umat Islam atau negara kapitalis itulah sebagai biang dari terorisme karena ekstremisme juga dapat mengarah pada terorisme negara. “Kalau menurut saya, tentu saja negara yang berpotensi untuk meneror rakyat,” tegasnya.
Umar menyebut, negara menjadi pelaku tindak terorisme negara karena negara tersebut melakukan empat hal. Pertama, mengadopsi kapitalisme liberal. Kedua, intoleran terhadap ideologi yang berbeda dengan kapitalisme terutama kepada Islam. Ketiga, menganggap ideologi kapitalisme itu paling benar sementara ideologi Islam itu keliru. Keempat, fokus meneror kaum Muslim dengan isu radikal.
Jadi tudingan radikal itu, dinilainya sebagai isu yang terus dihembuskan. “Kita melihat bahwa war on terrorism yang hari ini terus digulirkan oleh Amerika Serikat, dengan mengambil momen keruntuhan gedung WTC pada September 2001. Ada indikasi bahwa perang melawan terorisme itu adalah peperangan melawan Islam,” paparnya.
Umar menilai, ketika Indonesia mengikuti genderang yang ditabuhkan Amerika Serikat, ini menjadi satu ironi. “Kita melihat Indonesia hari ini sebagai negara yang sangat aktif dalam menjalankan berbagai program perang melawan terorisme yang terus didengungkan dan digaungkan Amerika Serikat,” ungkapnya.
“Ini yang perlu untuk disorot. Jangan- jangan beliau (Pak Mahfudz) keliru. Justru kapitalismelah yang menjadi biang teror dunia hari ini,” ujarnya.
“Ada teror kelaparan, teror korupsi, teror kemiskinan yang siap meneror kaum Muslim di berbagai wilayah dunia sehingga menjadi tidak stabil, tidak tenteram dan jauh dari rasa aman,” jelasnya.
Umar menilai bahwa global war on terrorism baik pendekatan hard power maupun soft power menyisir seluruh negeri Islam. “Jika ini dinyanyikan terus oleh negara di dunia Muslim yang dirugikan adalah kaum Muslim. Akhirnya kaum Muslim terjebak pada narasi global atau pun mindset yang dimainkan oleh Amerika Serikat,” tandasnya.
RAN PE
Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) dinilai oleh Umar sebagai bagian dari soft power yang menekankan pada pendekatan hukum kepada pelaku terorisme.
“Selama ini pendekatan hard power yang direpresentasikan oleh Densus 88 dianggap memunculkan kemarahan dan kebencian dari publik. Sehingga pemerintah tampaknya berupaya lebih menekankan pada pendekatan hukum melalui undang-undang terorisme, undang-undang ormas dan sebagainya,” terangnya.
Saat radikalisme disinyalir mengarah pada Islam dan umat Islam, Umar menilai ini menjadi kritik keras bagi pemerintah.
“Ini menjadi kritik keras pada pemerintah agar tidak coba main-main kepada umat Islam dan jangan sampai main-main kepada ajaran Islam. Jika umat Islam dipojokkan terus, suatu saat umat Islam pasti marah. Kemarahan umat Islam pastinya juga akan sampai kepada pemerintah. Dan jika pemerintah sudah tidak mendapatkan restu dari umat Islam tentu saja pemerintah akan menanggung akibatnya di hari-hari ke depan nanti,” tuturnya kesal.
Umar mengatakan, perang melawan terorisme termasuk pemaknaan radikal dan radikalisme hari ini, masih disematkan kepada individu atau kelompok yang memperjuangkan tegaknya syariah Islam atau formalisasi syariat Islam dalam bernegara, termasuk kepada umat Islam yang menyerukan jihad fisabilillah, dan sebagainya.
“Jika itu terus dilawan oleh pemerintah artinya sama saja pemerintah melawan umat Islam karena jihad dan khilafah itu ajaran Islam. Ini menjadi tanda tanya bagaimana keberpihakan pemerintah terhadap umat Islam. Padahal pendukung pemerintah selama ini mayoritas dari umat Islam,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun