Mahfud MD Sebut Indonesia Bukan Negara Agama Maupun Negara Sekuler, UIY: Negara Apa?

 Mahfud MD Sebut Indonesia Bukan Negara Agama Maupun Negara Sekuler, UIY: Negara Apa?

Mediaumat.id – Pernyataan Mahfud MD yang menyebut, Indonesia bukan negara agama maupun negara sekuler pada forum Ijtima ulama MUI, dipertanyakan Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY).

“Indonesia dikatakan bukan negara agama, juga bukan negara sekuler. Negara apa?” tuturnya kepada Mediaumat.id, Kamis (11/11/2021).

UIY mengatakan, negara apa pun namanya, jika mengikuti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), negara sekuler yakni negara yang memisahkan agama dan politik. “Maka Indonesia adalah negara sekuler,” tegasnya.

Menurutnya, fakta menunjukkan bahwa Indonesia memang negara sekuler. “Lihatlah apakah dalam penyusunan peraturan perundang-undangan seperti UU Minerba, UU Omnibus Law dan lainnya selama ini didasarkan pada ajaran agama (Islam)? Bahkan UU Zakat pun tidak didasarkan pada ajaran agama, sebab bila mengikuti ajaran Islam, zakat itu wajib dipungut, bukan sukarela dibayar, dan siapa saja yang tidak mau membayar harus dihukum,” ungkapnya.

Ia heran, bila boleh negara demokrasi, boleh negara kapitalis, boleh negara sosialis, bahkan boleh negara komunis, kenapa tidak boleh negara Islam?

Bahaya

UIY mengungkap, negara sekuler berbahaya karena tidak menerapkan syariah. “Negara sekuler dalam pandangan Islam adalah negara yang tidak menerapkan syariah. Bahayanya ya, setiap pengabaian terhadap syariah dalam setiap aspek kehidupan pasti akan timbul fasad atau kerusakan, karena pasti aspek itu akan diatur dengan sesuatu yang bukan syariah, seperti di bidang ekonomi dengan kapitalisme. Dengan kapitalisme, ekonomi memang tumbuh, tapi tidak pernah stabil dan tidak adil,” tuturnya.

“Lihatlah, di negara kita, bagaimana bisa ladang batu bara yang hakikatnya adalah milik rakyat mestinya hasilnya untuk rakyat tapi melalui UU Minerba (yang baru) dikelola oleh swasta,” sesalnya.

Bila mengacu pada ketentuan sebelumya, yakni pasal 63 dan 75 UU Minerba Nomor 4 tahun 2009, menurutnya, PKP2B yang telah habis masa berlakunya harus dikembalikan kepada negara sebagai wilayah pencadangan negara atau dilelang dengan mengutamakan BUMN dan BUMD.

“Tapi ketentuan yang lebih mengedepankan kepentingan publik ini justru dihapus, dan diganti dengan ketentuan, yang sangat jelas lebih mengutamakan pemilik PKP2B, yang tak lain adalah para pengusaha, yang hampir seluruhnya terhubung dengan kekuatan politik negeri ini,” terangnya.

“Hebatnya, perpanjangan izin bahkan diberikan secara otomatis, nyaris tanpa evaluasi, karena dibubuhi kata ‘diberikan jaminan’. Di aturan sebelumnya hanya menggunakan diksi ‘dapat diperpanjang’,” ungkapnya.

Lebih lanjut, kata UIY, Pasal 169 itu juga memberi jangka waktu 10 tahun untuk 2 kali perpanjangan dan 2 kali lagi, sehingga total masa konsesi bisa mencapai 40 tahun. “Perpanjangan bahkan dapat dilakukan paling cepat 5 tahun sebelum kontrak berakhir. Dalam aturan sebelumnya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, perpanjangan paling cepat dilakukan 2 tahun sebelum kontrak berakhir,” jelasnya.

“Bukan hanya perpanjangan, pemilik PKP2B melalui UU Omnibus, juga mendapatkan tambahan keistimewaan. Dalam Penambahan pasal 128 A dalam UU Omnibus Cipta Kerja, dinyatakan bahwa bagi pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara, yakni berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen),” tambahnya.

Menurutnya, ketentuan ini tentu saja sangat aneh. “Bagaimana bisa DPR yang hakikatnya adalah wakil rakyat, justru bertindak merugikan rakyat yang diwakilinya itu. Padahal potensi tambang yang dikuasai oleh 7 (tujuh) kontraktor PKP2B yang luasnya mencapai 370.775 hektare itu sangatlah besar.  Menurut keterangan Dirjen Minerba sendiri, sumber daya dan cadangan batu bara di wilayah itu mencapai 20,7 miliar ton dan 3,17 miliar ton.  Jika diasumsikan nilai kalori rata-rata adalah 4.000 kcal/kg GAR, nilai HBA US$75/ton dan nilai tukar US$/Rp=Rp14.000, maka nilai aset itu adalah Rp13.730 triliun, dengan keuntungan bersih tahunan tidak kurang dari Rp 2 triliun,” bebernya.

“Bukankah dengan potensi sebesar itu, bila dikelola oleh negara, hasilnya bisa dipakai untuk kepentingan rakyat? Mengapa malah diserahkan kepada perusahaan swasta?” tanyanya.

Menurutnya, kini menjadi sangat jelas, bahwa semua proses dan kelit kelindan lahirnya UU Minerba, UU Omnibus Cipta Kerja, juga Perppu Covid-19, tak lain adalah demi memuluskan kepentingan oligarki pemilik modal. Termasuk mengapa semua dibuat dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ternyata karena ada perusahaan yang bakal segera habis masa kontraknya.

“Itu baru di bidang ekonomi, belum lagi di bidang sosial budaya politik dan lainnya, kerusakan sangat nyata. Itu semua merugikan, bukan hanya bagi umat Islam tapi juga umat non-Islam,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *