Mediaumat.id – Menanggapi mahalnya mahar politik di negeri ini, Pengamat Politik Dr. Suswanta menyampaikan bahwa tidak ada makan siang yang gratis. “Semua orang tahu bahwa tidak ada makan siang gratis,” ungkapnya dalam acara Kabar Petang: Gawat! Mahar Politik dan Korupsi Sistemik? di kanal YouTube Khilafah News, Rabu (28/9/2022).
Menurutnya, fenomena ini memang menunjukkan betapa mahalnya ongkos atau biaya politik di Indonesia. “Ada Undang-Undang Nomor 10/2016. Tapi menurut saya, Undang-Undang tentang Pilkada itu justru sangat tidak realistis, karena melarang calon untuk memberikan imbalan. Kata yang digunakan memang imbalan ya, kepada partai,” ungkapnya.
Ia memandang di sisi yang lain undang-undang ini juga menyatakan, selain bisa perorangan (independen), calon kepala daerah juga bisa dengan dukungan partai atau gabungan partai.
“Dan yang realistis tentu memang dengan menggunakan kendaraan partai atau gabungan partai. Partai pun juga dibatasi yang mendapat suara 25 persen dari kursi yang ada di DPRD, artinya bahwa partai yang besar yang punya banyak kursi,” jelasnya.
Menurutnya, ada paradoks di dalam UU itu sendiri. Artinya, bahwa yang namanya mahar politik itu tidak bisa dihindari, pasti akan terjadi.
“Kan tadi saya katakan partai mendukung orang yang tidak memberikan imbalan kepada partai. Nah fenomena ini tidak akan berdampak, karena faktanya, calon kepala daerah itu tidak hanya memberikan mahar politik kepada partai,” tandasnya.
Ia mengungkapkan bahwa dalam praktiknya, biaya yang dikeluarkan oleh calon itu lebih besar. Tidak hanya mahar politik. Kalau mahar politik itu, diberikan kepada partai untuk menggerakkan mesin partai.
“Tapi dalam faktanya, calon juga harus mengeluarkan biaya untuk kampanye, kemudian untuk survei, konsultasi dengan lembaga survei, kemudian untuk saksi. Nah, kemudian yang tidak kalah besarnya adalah untuk pemilih,” jelasnya.
Ia memaparkan rata-rata hasil survei dari FITRA dan beberapa artikel jurnal untuk kepala daerah level kabupaten-kota itu bisa sampai kisaran 30 sampai 40 miliar.
“Nah itu tergantung daerahnya. Kalau sekitar Jawa Barat, Jabodetabek, tentu lebih mahal. Atau daerah-daerah yang punya kekayaan alam itu lebih mahal. Itu gubernur itu bisa sampai 100 miliar. Nah tentu biaya yang sangat besar ini,” tandasnya.
Dampak
Suswanta mengungkapkan ada dua dampak dari fenomena mahalnya mahar politik ini. Pertama, calon yang bisa menjadi kepala daerah itu tentu calon yang berduit atau didukung oleh cukong-cukong yang punya modal atau punya uang banyak.
Menurutnya, calon-calon yang berkualitas secara intelektual atau secara keilmuan dari sisi integritas itu akan tersingkir, karena tidak punya uang cukup besar.
Kedua, dampaknya akan terjadi korupsi secara sistemik. “Jadi, biaya politik yang dikeluarkan calon tadi, kalau dia jadi, maka dia harus membayar utang budi kepada para pendukungnya,” terangnya.
Ia membandingkan antara gaji dan tunjangan yang didapat seorang gubernur dengan biaya yang dulu dikeluarkan.
“Nah, sementara gaji dan juga tunjangan gubernur saja itu tidak sampai Rp10 juta per bulan, hanya 8,6 juta. Kalaulah misalnya ada tunjangan operasional itu puluhan juta, jadi timpangnya antara biaya yang dulu dikeluarkan dengan gaji tunjangan yang didapat itu akan mendorong yang bersangkutan. Jadi sistemnya memang mendorong orang untuk korup,” tegasnya.
Ia memandang, kalau cukong-cukong yang mendukungnya itu juga tagih janji, maka korupsi terutama terkait pengadaan barang jasa atau kemudian terkait dengan izin, terutama di daerah yang kaya dengan sumber daya alam, ada izin pertambangan, dan juga izin pembangunan terkait dengan hotel, apartemen, atau tempat wisata, dan sebagainya.
“Poinnya adalah membuka peluang korupsi, korupsi berjamaah,” pungkasnya.[] ‘Aziimatul Azka