Ma’al Hadīts Al-Syarīf: Negara Khilafah Adalah Negara Manusiawi

Dari ‘Alqamah bin Wa’il Al-Hadlrami, dari ayahnya, dia berkata: Salamah bin Yazid Al-Ju’fiy pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Nabi Allah, bagaimanakah pendapatmu jika para penguasa yang memimpin kami selalu menuntut hak mereka atas kami, namun mereka tidak mau memenuhi hak kami, sikap apa yang anda anjurkan kepada kami?” Maka beliau berpaling, lalu ditanyakan lagi kepada beliau dan beliaupun tetap enggan menjawabnya hingga dua atau tiga kali pertanyaan itu diajukan kepada beliau, kemudian Al-Asy’ats bin Qais menarik Salamah bin Zayid. Beliau lalu bersabda:
«اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ»
“Dengarkan dan taatilah, sesungguhnya mereka akan mempertanggung jawabkan atas semua perbuatan mereka, sebagaimana kalian juga akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan kalian.” (HR. Muslim).
**** **** ****
Mendengar dan menaati merupakan faktor persamaan antara hadis-hadis mulia yang membahas tentang hubungan umat dan Khalifah, serta ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas tentang hubungan tersebut … Mendengar dan menaati adalah perjanjian yang ada di pundak setiap Muslim, sehingga setiap Muslim tidak boleh menolak atau mengingkarinya selama Khalifah masih melaksanakan ketentuan (hukum) syariat, apapun penyelewengan atau pelanggaran yang mungkin terjadi dari Khalifah atau penguasa lain di bawahnya di antara para wali, selama pelanggaran atau penyelewengan tersebut tidak sampai mengubah atau merusak ketentuan-ketentuan yang sudah berlaku dalam negara, yang semuanya tanpa kecuali harus didasarkan pada sumber yang sama, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta Ijma’ Sahabat dan Qiyas Syar’iy yang telah ditunjukkan oleh keduanya …
Negara Khilafah itu tegak berdasarkan pada pemikiran Islam: Akidah yang darinya terpancar sistem kehidupan bagi individu dan kelompok (negara). Adapun tentang penerapan sistem tersebut, maka itu dilakukan oleh manusia. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ummu Salamah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau mendengar pertengkaran di depan rumah beliau. Lalu beliau keluar menemui mereka dan berkata:
«إنَّما أنَا بَشَرٌ وإنَّه يَأْتِينِي الخَصْمُ فَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أنْ يَكونَ أبْلَغَ مِن بَعْضٍ، فَأَحْسِبُ أنَّه صَادِقٌ فَأَقْضِي لَهُ بذلكَ، فمَن قَضَيْتُ له بحَقِّ مُسْلِمٍ فإنَّما هي قِطْعَةٌ مِنَ النَّارِ فَلْيَأْخُذْهَا أوْ لِيَتْرُكْهَا»
“Sesungguhnya saya adalah manusia (seperti manusia lainnya). Sesungguhnya orang yang terlibat pertengkaran mendatangi saya, maka mungkin saja sebagian dari kalian (orang-orang yang bertengkar) lebih mampu (berargumen) daripada yang lainnya, sehingga saya (Nabi) menduga bahwa sungguh dia yang benar, lalu saya putuskan (perkara itu) dengan memenangkannya. Barangsiapa yang telah saya putusnya dengan (mengambil) hak sesama Muslim, maka sesungguhnya keputusan itu adalah potongan bara api neraka, maka (terserah) dia mengambilnya atau meninggalkannya.”
Demikian juga, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau bersabda:
«وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّي وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ»
“Sesungguhnya aku berharap bertemu dengan Rabbku, dan tidak seorang pun menuntutku karena kezaliman yang telah aku lakukan padanya dalam perkara darah atau harta.”
Semua ini menunjukkan bahwa beliau memangku dua kedudukan: kedudukan kenabian dan kerasulan, dan kedudukan kepemimpinan kaum Muslim di dunia untuk menegakkan syariat Allah yang diwahyukan kepada beliau. Dalam melaksanakan tugas masing-masing dari dua kedudukan ini, beliau bertindak dengan cara yang diharuskan oleh kedudukan tersebut. Beliau bertindak dalam salah satunya dengan cara yang berbeda dengan yang lain.
Adapun tentang ‘ishmah ar-rasūl (kesucian Rasul dari kesalahan dan dosa), maka hal ini berasal dari kapasitasnya sebagai nabi, bukan dari kapasitasnya sebagai penguasa. Sebab ‘ishmah adalah salah satu sifat yang wajib dimiliki seluruh nabi dan rasul, tanpa memandang apakah mereka sendiri yang memerintah manusia dengan syariat yang mereka bawa dan menerapkan syariat tersebut, ataukah mereka hanya sekadar menyampaikannya, tidak memerintah dengannya dan tidak pula menerapkannya. Dengan demikian, Sayyidina Musa, Isa dan Ibrahim adalah orang-orang ma’shūm (suci dari kesalahan dan dosa), sebagaimana junjungan kita Muhammad saw. adalah orang yang ma’shūm. Jadi, ‘ishmah adalah untuk urusan kenabian dan kerasulan, bukan untuk urusan pemerintahan. Bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam saat mengemban tugas-tugas pemerintahan tidak melakukan perbuatan haram dan tidak meninggalkan perbuatan wajib, itu disebabkan karena beliau ma’shūm dari sisi kenabian dan kerasulan, bukan dari sisi kapasitas beliau sebagai penguasa. Sehingga, pelaksanaan tugas beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam pemerintahan tidak mengharuskan adanya ‘ishmah pada diri beliau. Tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi ma’shūm dalam kapasitas beliau sebagai nabi dan rasul.
Berdasarkan semua itu bahwa beliau menjalankan pemerintahan dalam kapasitasnya sebagai manusia yang memerintah atas manusia lainnya. Jadi, seluruh Khalifah yang memimpin negara Islam adalah manusia yang tidak ma’shūm dari kesalahan, dosa, kelupaan, dan penyalahgunaan jabatan. Para khalifah bisa saja lupa, lalai, salah, dan bermaksiat, bahkan menunjukkan kekafiran secara terang-terangan, maka di saat seperti inilah kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada kita untuk tidak menaatinya, melainkan memeranginya. Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu berkata:
«دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ»
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil kami, lalu kami membaiat beliau. Beliau mengatakan di antara yang beliau minta dari kami, yaitu agar kami membaiat untuk mendengarkan dan metaatinya, baik kami dalam keadaan senang maupun ketika kami dalam keadaan benci, ketika kami dalam kesulitan maupun ketika kami dalam kemudahan, kami tidak akan mengutamakan kepentingan kami sendiri, dan juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya. Beliau berkata: Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas, dan kalian memiliki bukti dari Allah tentang hal itu.”
Oleh karena itu, negara Islam adalah negara manusiawi. Para penguasanya bukanlah para nabi dan tidak pula mereka itu ma’shūm. Sebaliknya, mereka adalah manusia yang bisa saja mereka itu salah dan benar. Sebab ma’shūm itu tidak dimiliki oleh para ulama, penguasa, atau rakyat … Negara Islam itu disebut Negara Khilafah: Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia … Jika telah dibaiat seorang Khalifah dengan baiat yang sesuai syariah di negara Muslim mana pun, dan Khilafah telah tegak, maka haram bagi kaum Muslim di seluruh belahan dunia untuk mendirikan Khilafah yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا»
“Apabila ada dua khalifah yang dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir dari keduanya.” (HR. Muslim).
Inilah negara Islam, negara Khilafah: negara yang diperintah oleh manusia, bukan para nabi, dan mereka tidak ma’shūm. Dengan begitu, negara Islam, negara Khilafah adalah negara manusiawi (yang bisa saja berbuata salah), bukan negara ilahi (yang tidak mungkin salah sama sekali) … Di dalam negara Khilafah, kaum Muslim membaiat seorang Khalifah untuk melaksanakan ketentuan hukum Islam, karena ketaatan Allah subhānahu wa ta’āla, serta mencari rahmat dan keridhaan-Nya. []
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 15/1/2024.