Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahīh-nya: Ia berkata, telah menceritakan kepada kami Musa bin Ismail, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muslim, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Dinar, ia berkata: aku mendengar Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama mengutus sebuah ekspedisi dan mengangkat Usamah bin Zaid sebagai panglimanya, kemudian kepemimpinannya dicela habis-habisan oleh para sahabat ketika itu, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama langsung menegur mereka:
إِنْ تَطْعَنُوا فِي إِمَارَتِهِ فَقَدْ كُنْتُمْ تَطْعَنُونَ فِي إِمَارَةِ أَبِيهِ مِنْ قَبْلِهِ وَايْمُ اللَّهِ إِنْ كَانَ لَخَلِيقًا لِلْإِمْرَةِ وَإِنْ كَانَ لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ وَإِنَّ هَذَا لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ بَعْدَهُ
“Jikalau kalian mencela kepemimpinanya, maka sungguh kalian juga mencela kepemimpinan bapaknya sebelumnya, demi Allah, dia sangat ideal memegang kepemimpinan, dan sungguh ayahnya (Zaid bin Haritsah) termasuk manusia yang paling kucintai, sedang dia (Usamah bin Zaid) termasuk manusia yang paling kucintai sepeninggalnya.”
*****
Inilah Rasulullah, Kepala Negara Islam pertama yang menunjuk pimpinan militer sendiri … Sehingga hal ini menunjukkan bahwa Kepala Negara Islam (Khalifah), secara de facto adalah Panglima Militer, dan bukan hanya Panglima Tertinggi Militer semata. Dengan demikian, kepemimpinanya dalam militer bukan sekedar simbolis.
Kepemimpinan militer adalah salah satu wewenang Khalifah, jika tidak demikian, maka wewenang Khalifah itu banyak, dan intinya adalah sebagai berikut:
- Khalifah berhak mengadopsi hukum-hukum syariah yang memang dibutuhkan untuk memelihara urusan-urusan rakyat. Hukum-hukum itu harus digali—dengan ijtihad yang sahih—dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dengan diadopsi oleh Khalifah, hukum-hukum itu menjadi undang-undang yang wajib ditaati, dan seorang pun tidak boleh melanggarnya. Dalilnya adalah Ijmak Sahabat.
Abu Bakar berpandangan, perlu membagikan harta (ghanīmah) kepada kaum Muslim secara sama rata, karena harta itu merupakan hak mereka semua secara sama. Adapun Umar bin al-Khaththab berpandangan bahwa tidaklah layak orang yang pernah memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama diberi bagian harta sama dengan orang yang dulu pernah berperang bersama Beliau; juga tidak layak orang fakir diberi harta sama dengan orang kaya. Akan tetapi, Abu Bakar adalah Khalifah ketika itu. Ia berhak memerintahkan untuk beramal sesuai pendapatnya, yakni berhak menetapkan pembagian harta (ghanīmah) secara sama rata. Seluruh kaum Muslim pun mengikuti ketentuan itu. Semua qādhī dan wali melaksanakan ketentuan Abu Bakar tersebut. Umar bin al-Khaththab pun tunduk pada perintah Abu Bakar itu. Sehingga ia beramal sesuai dengan pendapat Abu Bakar dan melaksanakannya.
Ketika Umar menjadi Khalifah, beliau mengadopsi pendapat yang berbeda dengan pendapat Abu Bakar. Umar memerintahkan—berdasarkan pendapatnya—pembagian harta (ghanīmah) secara berbeda-beda, tidak sama rata, artinya harta itu dibagikan sesuai dengan skala prioritas dan kebutuhan. Keputusan itu diikuti oleh seluruh kaum Muslim. Para qādhī dan wali juga menjalankan keputusan tersebut. Dengan demikian, Ijmak Sahabat ini menjadi legalitas bahwa Imam (Khalifah) memiliki hak untuk mengadopsi hukum-hukum tertentu yang diambil dari dalil-dalil syara’ melalui ijtihad yang sahih. Imam (Khalifah) berhak memerintahkan kaum Muslim untuk beraktivitas sesuai dengan hukum-hukum yang telah diadopsinya itu. Sementara kaum Muslim wajib untuk menaatinya meskipun yang diadopsi itu berbeda dengan ijtihadnya. Kaum Muslim juga wajib untuk meninggalkan aktivitas berdasarkan pendapat dan ijtihadnya.
- Khalifah adalah penanggung jawab politik dalam negeri maupun luar negeri sekaligus. Khalifah juga yang memegang kepemimpinan militer. Sehingga ia memiliki hak untuk mengumumkan perang serta mengadakan perjanjian damai, gencatan senjata, dan seluruh bentuk perjanjian lainnya. Dalilnya adalah aktivitas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama. Beliaulah yang melakukan sendiri semua aktivitas itu, atau beliau mengangkat orang untuk mewakilinya dalam melakukan aktivitas tersebut. Sebagaimana beliau memperkerjakan orang untuk melakukan aktivitas administrasi. Beliau menunjuk para mu’āwin (pembantunya), wali dan qādhī sekaligus meminta pertanggungjawaban mereka. Beliaulah yang mengontrol praktik jual-beli. Beliaulah yang membagi-bagikan harta kepada masyarakat. Beliaulah yang mengusahakan pekerjaan bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan. Beliau pula yang melangsungkan semua urusan negara di dalam negeri. Demikian pula, Beliaulah yang menyeru para raja. Beliaulah yang menerima para utusan. Beliaulah yang melaksanakan semua urusan luar negeri. Beliau sendiri yang memimpin berbagai peperangan dan pertempuran. Beliau pula yang mengirimkan detasemen dan menunjuk komandannya. Hal itu menunjukkan secara de facto bahwa Khalifah adalah Panglima Militer, dan bukan hanya Panglima Tertinggi Militer semata. Beliaulah yang mengumumkan perang, mengadakan genjatan senjata dan berbagai perjanjian lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa semua aktivitas tersebut merupakan wewenang Khalifah.
- Khalifah memiliki hak untuk menerima atau menolak para duta negara asing. Khalifah juga berwenang mengangkat dan memberhentikan para duta kaum Muslim. Dalilnya adalah aktivitas Rasulullahlah shallallahu ‘alaihi wa sallama. Beliaulah yang menerima dua orang utusan Musailamah al-Kadzab. Beliaulah yang menerima Abu Rafi’ utusan Quraisy. Beliaulah yang mengirim sejumlah utusan kepada Heraklius, Kisra, Muqauqis, Harits al-Ghasani Raja al-Hirah, Harits al-Humairi Raja Yaman, Najasyi dan raja-raja lainnya. Beliaulah yang mengutus Utsman bin Affan sebagai utusan kepada Quraisy pada Perjanjian Hudaibiyah. Semua itu menunjukkan bahwa Khalifahlah yang memiliki wewenang untuk mengangkat para duta negara. Juga Khalifah memiliki wewenang untuk menerima atau menolak mereka.
- Khalifah memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan para mu‘āwin dan para wali (gubernur, termasuk para amil). Mereka semuanya bertanggung jawab di hadapan Khalifah sebagaimana mereka juga bertanggung jawab di hadapan Majelis Umat. Dalilnya adalah perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama. Beliaulah mengangkat para mu‘āwin-nya, dan juga yang menunjuk para wali. Beliaulah yang mengoreksinya, dan juga yang memberhentikan sebagian dari mereka. Beliaulah yang memberhentikan Al-‘Ala’a bin Al-Hadrami dari jabatan wali Bahrain. Dan Beliaulah yang mengoreksi langsung Ibnu Lutbiyah karena menerima hadiah pada saat diutus menjadi amil zakat.
- Khalifah memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Qādhī al-Qudhāt (Kepala Kehakiman) dan para qādhī (hakim) yang lain, kecuali Qādhī Mazhālim. Khalifahlah yang mengangkat Qādhī Mazhālim, sedangkan berkaitan dengan pencopotannya, Khalifah harus terikat dengan beberapa ketentuan. Khalifah juga memiliki wewenang mengangkat dan memberhentikan para dirjen, panglima militer, komandan batalion, dan komandan kesatuan. Mereka semuanya ber tanggungjawab di hadapan Khalifah dan tidak bertanggung jawab di hadapan Majelis Umat. Dalilnya adalah perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama. Beliaulah yang telah mengangkat para para qādhī, di antaranya Ali bin Abi Thalib dan Abu Musa al-Asy’ari. Beliaulah yang mengankat para panglima militer dan komandan batalion, di antaranya adalah Usamah bin Zaid dan Hamzah bin Abdul Muthalib.
- Khalifah memiliki wewenang mengadopsi hukum-hukum syariah yang menjadi pegangan dalam menyusun APBN. Khalifah memiliki wewenang menetapkan rincian APBN, besaran anggaran untuk masing-masing pos baik berkaitan dengan pemasukan maupun pengeluaran. Dalilnya adalah Ijma’ Sahabat. Sebagaimana hal itu telah dilakukan oleh Khalifah al-Rasyid Abu Bakar. Begitu juga yang telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Dan tidak seorangpun dari para sahabat yang mengingkarinya, padahal banyak hal yang sama yang mereka ingkari. Sehingga hal ini menjadi Ijma’ Sahabat.
*****
Dari aktivitas-aktivitas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama sebagai penguasa, seperti yang disebutkan di atas, dan dari Ijma’ Sahabat atas akvitas-aktivitas Khulafa’ ar-Rasyidin sesudahnya, jelaslah bahwa Khalifah memiliki semua wewenang dalam pemerintahan. Khalifah adalah pengatur dan pemelihara urusan kaum Muslim dan semua kepentingannya. Khalifah memiliki semua wewenang yang memungkinkan untuk melakukan semua tanggung jawabnya dalam menjalankan kekuasaan dan pemeliharaan.
Ini adalah hukum Allah, sehingga tidak ada seorangpun yang bisa menolaknya atau mengkritiknya. Siapakah yang lebih tahu dari Allah subhānahu wa ta’āla tentang apa yang membuat umat menjadi baik, serta adakah yang lebi mengerti tentang apa yang terbaik bagi umat daripada yang mengadakan dan yang menciptakannya. Namun, manfaat dan kebaikan dari wewenang Khalifah yang luas ini akan terlihat dengan nyata ketika Khilafah tegak kembali dalam waktu dekat, Insya Allah. Di mana ketika itu Khalifah akan mengurusi secara langsung semua urusan umat.
Jadi, orang yang bertanggung jawab untuk setiap hal besar dan kecil di tengah-tengah umat diketahui dengan jelas. Umat akan meminta pertanggungjawabannya dan mengoreksinya. Hak-hak rakyat tidak disia-siakan di antara banyak pejabat, sebab ketika masing-masing saling menyalahkan yang lain, maka hak-hak itu akan disia-siakan, dan yang lalai tidak dikoreksi, akibatnya ketidakadilan dan korupsi yang mendominasi, seperti yang terjadi saat ini dalam sistem demokrasi yang diterapkan di dunia, termasuk di tengah-tengah kami, dunia Islam.
Ya Allah, jadikan kami memiliki seorang khalifah yang mengurus urusan kami, mendengarkan saran kami, menerima koreksi kami dan permintaan pertanggungjawaban dari kami. Sehingga tidak ada lagi ruang untuk ketidakadilan atau korupsi. Juga keamanan, ketenangan dan ketentraman mewarnai umat yang sebelumnya begitu lama diselimuti kezaliman, teror dan pemaksaan. Umat tengah menantikan hari keselamatannya dengan mata penuh harapan kepada Tuhan yang belas kasih dan penyayang! Allāhumma Ᾱmīm!
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 14/3/2020.