Dari Umar r.a. bahwa Nabi saw. besabda:
« مَنْ أَحْيَا أَرْضاً مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ »
“Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu (menjadi) miliknya” (HR. Baukhari).
Nabi saw. besabda:
« مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ »
“Barangsiapa membatasi (memagari) tanah yang mati, maka tanah itu (menjadi) miliknya” (HR. Ahmad).
Nabi saw. juga besabda:
« مَنْ سَبَقَ إِلَى مَا لَمْ يَسْبِقْ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ فَهُوَ لَهُ »
“Barangsiapa terlebih dahulu (mengelola atau mengerjakan tanah yang mati) yang belum dimiliki (didahului) oleh seorang muslim, maka tanah itu (menjadi) miliknya” (HR. Thabrani dalam Al-Kabīr).
**** **** ****
Allah Swt. telah menentukan cara memperoleh harta, dan juga telah mengatur dengan berbagai ketentuan hukum mengenai kepemilikan harta kekayaan, seperti ketentuan hukum mengenai berburu, ihyāul mawāt (menghidupkan tanah yang mati), ketentuan hukum sewa, dan istishnā’ (industri), serta ketentuan hukum mengenai warisan, hibah, dan wasiat.
Dalam kitab “Al-Nizhām Al-Iqtishādī, Sistem Ekonomi” karya ulama terkemuka Syeikh Taqiyuddin Al-Nabhani semoga Allah merahmatinya, dalam bab “Ihyā’ al-Mawāt” disebutkan sebagai berikut:
“Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya, dan tidak dimanfaatkan oleh satu orang pun. Sedangkan yang dimaksud dengan menghidupkannya adalah mengolahnya dengan cara menanaminya, baik dengan tanaman maupun pepohonan, atau dengan mendirikan bangunan di atasnya. Dengan kata lain, menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkan tanah untuk keperluan apapun, yang bisa menghidupkannya. Dengan adanya upaya seseorang untuk menghidupkan tanah, berarti upaya seseorang tadi telah menjadikan tanah tersebut sebagai miliknya.
Dalam hal ini tidak ada bedanya antara seorang muslim dengan orang kafir dzimmi (kafir yang telah menjadi warganegara dengan tunduk kepada pemerintahan Islam), karena hadits-hadits tersebut bersifat mutlak.
Ketentuan ini berlaku umum, mencakup semua tanah, baik tanah itu (berada di wilayah) darul Islam, ataupun darul kufur, baik tanah tersebut berstatus usyriyah ataupun kharajiyah. Hanya saja, agar menjadi hak miliknya, tanah tersebut disyaratkan harus dikelola selama tiga tahun semenjak tanah itu dibuka dan terus-menerus dihidupkan dengan mengintensifikasikannya. Apabila tanah tersebut belum pernah dikelola selama tiga tahun, sejak tanah tersebut dibuka, atau setelah dibuka kemudian dibiarkan selama tiga tahun berturut-turut, maka hak pemilikan orang yang bersangkutan atas tanah tersebut telah hilang. Umar bin Khaththab r.a. berkata:
وَلَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌّ بَعْدَ ثَلَاثِ سِنِيْنَ
“Dan bagi orang yang melakukan tahjir (memasang batas pada sebidang tanah) tidak mempunyai hak lagi atas tanahnya setelah tiga tahun (tanah itu diterlantarkan).”
Disebutkan dalam Sunan al-Baihaqi dari Amr bin Syu’aib bahwa Umar menjadikan tahjir (memasang batas pada sebidang tanah) berlaku selama tiga tahun, dan jika dia membiarkan (menelantarkan) tanah yang di-tahjir selama tiga tahun, lalu setelah berlalu tiga tahun ada orang lain yang menghidupkannya kembali, maka orang lain ini yang lebih berhak atas tanah itu.
Perkataan dan perbuatan Umar bin Khaththab itu didengar oleh para shahabat dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Dengan demikian terdapat Ijma’ Shahabat bahwa hak milik orang yang melakukan tahjir (memasang batas pada sebidang tanah) gugur jika dia menelantarkan tanahnya tiga tahun.”
Sungguh saat ini kita benar-benar membutuhkan untuk menerapkan hukum (syariat) Allah dalam menghidupkan kembali kekayaan pertanian dan mendistribusikan semua kekayaan di negara-negara Muslim kepada mereka yang berhak mendapatkannya, dengan terlebih dahulu mengambilnya dari para tiran yang telah merampasnya dari mereka melalui cara kekerasan, sehingga membuat mereka yang mampu menghidupkan (menggarap) tanah itu menjadi terhalang darinya.
Ingatlah bahwa ada manfaat besar dalam penerapan hukum mengenai ihyāul mawāt (menghidupkan tanah yang mati) ini dan hukum-hukum syariat lainnya, sehingga masyarakat mendapat manfaat dari tanah tersebut, dan tidak dibiarkannya terbengkalai atau menjadi tempat berkembang biaknya para tiran.
Namun hal ini tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya seorang Khalifah yang memimpin dan mengatur kaum Muslim dengan mengikuti metode kenabian. []
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 26/9/2023.