Ma’al Hadīts Al-Syarīf: Kami Umat yang Ummi

Telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, telah menceritakan kepada kami Al-Aswad bin Qais, telah menceritakan kepada kami Sa’id bin ‘Amr, bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لا نَكْتُبُ ولَا نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وهَكَذَا. يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وعِشْرِينَ، ومَرَّةً ثَلَاثِينَ.

Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi. Kami tidak mengenal baca-tulis dan tidak melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari.” (HR Ibnu Majah).

Wahai kaum Muslim yang Mulia:

Sebaik-baik ucapan adalah kalam Allah SWT, dan sebaik-baik petunjuk adalah tuntunan Nabi-Nya ‘alaihi al-shalātu wa as-salāmu, Muhammad bin Abdullah. Ammā ba’du:

Hadits yang mulia ini memberi tahu kita sesuatu yang sangat penting, karena menyangkut salah satu ibadah kita kepada Allah SWT, yaitu puasa. Hadits tersebut memberitahu kita bahwa kita adalah umat yang ummi, di mana dalam beberapa ibadah tidak menggunakan hisab, sebabnya adalah ada banyak hadits dan dalil-dalil syariah yang menegaskan bahwa ibadah itu bersifat tauqifiy (sudah ditetapkan), yang tidak berubah, tidak berganti, dan tidak dicari-cari sebabnya, melainkan dikerjakan seperti yang diperintahkan Allah SWT. Sebagaimana shalat yang dimulai pada waktu tertentu dan berakhir pada waktu tertentu, yang dikaitkan dengan matahari, sedang puasa oleh Allah SWT dikaitkan dengan bulan dalam hal memulai dan mengakhiri Ramadhan, lalu dengan matahari dalam hal puasa dan berbukanya. Itulah sebabnya mengapa tidak seorang pun berhak menentukan waktu-waktu ibadah yang berbeda dengan itu. Jadi, tidak seorang pun berhak menghitung atau menetapkan jumlah harinya dan membatasinya menjadi tiga puluh hari atau yang lainnya, seperti yang dilakukan orang-orang sekarang dengan bulan-bulan Masehi di mana jumlahnya adalah tetap dan tidak berubah, apakah itu 30, kurang atau lebih.

Hal lain yang ditunjukkan oleh hadits itu adalah tentang tidak tetapnya jumlah hari di bulan suci Ramadhan ini, yang terkadang tiga puluh hari atau dua puluh sembilan hari, dan ini tidak terkait dengan kemampuan berhitung dan menulis, melainkan terkait lahirnya bulan sabit yang menandakan awal (masuknya) bulan baru. Jumlah hari Ramadhan tahun ini mungkin berbeda dari jumlah hari Ramadhan tahun sebelumnya, dan mungkin sama dengan Ramadhan berikutnya, tidak ada hubungan atau penentu kecuali bulan, sehingga masalah ini tetap terkait dengan terlihatnya hilal atau tidak, tidak ada hubungannya dengan ilmu falak dan tidak bisa menjadikannya sebagai penentu. Inilah yang secara eksplisit disebutkan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallama dalam hadits ini, serta hadits-hadits dan dalil-dalil syariah lainnya yang memberitahu kita bahwa sejumlah ibadah memiliki waktu yang telah ditetapkan (tauqifiy), sehingga dikerjakan seperti yang diperintahkan Allah SWT, dan disampaikan kepada kita oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallama.

Kami memohon kepada Allah subhānahu wa ta’āla untuk menyempurnakan agama kami dan menjaganya untuk kami, serta menjadikan kami senantiasa mengikuti jalan yang benar dan lurus, agar kami tidak bermaksiat kepada-Nya dan tidak membuat bid’ah sedikitpun tentang agama-Nya. Allāhumma Āmīn! [Dr. Mahir Shalih rahimahullah]

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 1/4/2022.

Share artikel ini: