Soal:
Amiruna yang dimuliakan, assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Semoga Allah menjaga dan memelihara Anda serta membukakan kebaikan melalui kedua tangan Anda.
Sejauh mana keshahihan kaedah syar’iyah ini, dan apakah boleh beristidlal dengannya atas at-tadarruj (bertahap) dalam menerapkan hukum syariah? Kaedah “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku mâ tayasara minhu -apa yang tidak dapat diraih semuanya tidak ditinggalkan apa yang mudah darinya-“. Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda. [Abu Umar]
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Di awal, semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda atas doa baik Anda untuk kami, dan kami pun mendoakan kebaikan untuk Anda.
Anda menanyakan dua perkara. Pertama, kesahihan kaedah syar’iyah yang mengatakan “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku mâ tayasara minhu -apa yang tidak dapat diraih semuanya, maka tidak ditinggalkan apa yang mudah darinya-“. Dan kedua, Anda bertanya apakah boleh beristidlal dengan kaedah tersebut atas at-tadarruj (bertahap) dalam penerapan hukum-hukum syariah. Dan jawaban atas hal itu sebagai berikut:
Pertama: berkaitan dengan pertanyaan Anda seputar kesahihan kaedah “mâ lâ yudraku kulluhu la yutraku mâ tayasara minhu”:
1- Perkataan ini memiliki beberapa redaksi yang beredar di buku-buku para ulama yang semuanya berdekatan: “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku kulluhu -apa yang tidak dapat diraih semuanya, maka tidak ditinggalkan semuanya-“, “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku julluhu -apa yang tidak dapat diraih semuanya, maka tidak ditinggalkan totalnya-“, “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku qilluhu -apa yang tidak dapat diraih semuanya, maka tidak ditinggalkan yang sedikitnya-“, “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku aqalluhu -apa yang tidak dapat diraih semuanya, maka tidak ditinggalkan yang paling kecilnya-“, “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku ba’dhuhu -apa yang tidak dapat diraih semuanya, maka sebagiannya tidak ditinggalkan -“, ditambah redaksi yang ada di pertanyaan Anda “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yuraku mâ tayasara minhu -apa yang tidak dapat diraih semuanya, tidak ditinggalkan apa yang mudah darinya-“… Sebagian menyebutnya pepatah (matsalun) atau ujar-ujar (maqûlatun), sementara sebagian yang lain mensifatinya sebagai kaedah syar’iyah … Bahkan seolah-olah berlangsung melalui lisan sebagian orang ucapan itu sebagai hadis dari Nabi saw. hal itu membuat seorang muhaddits Syam pada masanya, Ismail bin Muhammad bin Abdul Hadi al-Jirahiy al-‘Ajluni ad-Dimasyqi, Abu al-Fida’ (w. 1162 H) menyebutkan di dalam bukunya “Kasyfu al-Khafâ` wa Muzîlu al-Ilbâs ‘ammâ isytahara min al-Ahâdîts ‘alâ Alsinati an-Nâs”. Ia mengatakan di situ: [mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku kulluhu adalah dalam makna ayat:
﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (TQS at-Taghabun [64]: 16).
Dan hadis:
«اتَّقِ اللهَ مَا اسْتَطَعْتَ»
“Bertakwalah kepada Allah menurut kesangupanmu”.
Lafal tarjamah itu merupakan kaedah dan bukan hadis]. Demikian juga Ahmad bin Abdul Karim al-‘Ghaziy al-‘Amiriy (w. 1143 H) menyebutkannya di bukunya “al-Jiddu al-Hatsîts fî Bayâni mâ laysa bi Hadîtsin”, ia mengatakan tentang ucapan itu: [mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku kulluhu merupakan kaedah dan bukan hadis dan itu dalam makna ayat:
﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (TQS at-Taghabun [64]: 16).]
2- Dengan mendalami perkara tersebut, menjadi jelas bahwa rujukan ujar-ujar “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku kulluhu” adalah kepada kaedah syar’iyah yang mengatakan “al-maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr -yang mudah tidak gugur karena yang sulit-“. Yakni ujar-ujar itu merupakan ungkapan lain dari kaedah “al-maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr”. Kaedah paling akhr ini merupakan kaedah yang disebutkan di dalam buku-buku kaedah syar’iyah disertai dengan dalil-dalilnya. Misalnya, as-Suyuthi mengatakannya di dalam al-Asybâh wa an-Nazhâ`ir: [kaedah ke tiga puluh delapan, “al-maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr -apa yang mudah tidak gugur karena yang sulit-“. Ibnu as-Subki mengatakan: “itu merupakan kaedah paling masyhur yang diistinbath dari sabda Rasul saw:
«إذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»
“Jika aku memerintahkan kalian dengan satu perkara maka tunaikanlah menurut kesanggupanmu”.]
Az-Zarkasyi menyebutkan di bukunya “al-Mantsûr fî al-Qawâ`id”, ia mengatakan: [al-maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr, ini kembali kepada kaedah kemampuan menurut beberapa asal]. Az-Zarkasyi telah mensyarahnya dan menjelaskan batasan-batasannya ketika membicaraka topik “al-ba’dhu al-maqdûr ‘alayhi hal yajibu -sebagian yang mampu dilakukan apakah wajib-“.
3- Para ulama berisidlal untuk kaedah “al-maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr -apa yang mudah tidak gugur karena apa yang sulit-” atau padanannya yang lain “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku kulluhu -apa yang tidak dapat diraih semuanya, tidak ditinggalkan semuanya-” atau topik “al-ba’dhu al-maqdûr ‘alayhi hal yajibu -sebagian yang mampu dilakukan, apakah wajib-”, mereka beristidlal untuk itu dengan firman Allah SWT:
﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (TQS at-Taghabun [64]: 16).
Dan sabda Rasul saw:
«إذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»
“Jika aku memerintahkan kalian dengan satu perkara maka tunaikanlah menurut kesanggupanmu” (HR al-Bukhari di dalam Shahîhnya dari Abu Hurairah ra).
Mereka memberikan contoh-contoh rinci untuk menjelaskan realita kaedah ini. As-Suyuthi menyebutkan banyak cabang di dalam al-Asybâh wa an-Nazhâ`ir, kami sebutkan sebagian darinya:
[Al-maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr -apa yang mudah tidak gugur karena apa yang sulit-“ … Dan cabangnya banyak: di antaranya, jika sebagian anggota tubuh telah diamputasi, secara pasti wajib membasuh organ yang masih tersisa. Di antaranya: orang yang mampu atas sebagian sutrah (penutup aurat) maka secara pasti (qath’an) dia wajib menutupi yang dapat dia tutupi dengan sutrah itu. Di antaranya: siapa yang mampu membaca sebagian al-Fatihah maka tanpa ada perbedaan pendapat, dia harus membaca yang dia mampu itu…, Di antaranya: seandainya orang tidak mampu ruku’ dan sujud tanpa berdiri maka dia harus melakukan itu tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan kami … Di antaranya: siapa yang mendapati sebagian sha’ (tidak sampai satu sha’) dalam zakat fitrah, dia harus mengeluarkannya (pada kadar itu) dalam pendapat yang lebih shahih …].
4- Dari pengkajian contoh-contoh yang diberikan oleh para ulama untuk kaedah “al-maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr -apa yang mudah tidak gugur karena apa yang sulit-“ dan padanan-padanannya, dari situ menjadi jelas bahwa yang mereka maksudkan dengan kaedah tersebut bahwa hukum tertentu yang diperintahkan secara syar’iy jika seorang mukallaf tidak mampu melakukan sebagiannya karena tidak adanya kemampuan dia atasnya, yakni karena kesulitannya, maka pelaksanaannya atas semua perbuatan yang diperintahkan itu tidak gugur darinya, tetapi dia harus menunaikan apa yang mampu dia lakukan dari perbuatan yang diperintahkan itu. Sebab seorang mukallaf dituntut secara syar’iy untuk menunaikan apa yang diperintahkan menurut kemampuannya sesuai nas-nas al-Kitab dan as-Sunnah …
﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (TQS at-Taghabun [64]: 16).
Dan sabda Rasul saw:
«إذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»
“Jika aku memerintahkan kalian dengan satu perkara maka tunaikanlah menurut kesanggupanmu” (HR al-Bukhari di dalam Shahîhnya dari Abu Hurairah ra).
Misalnya, orang yang menunaikan shalat, dia wajib membaca al-Fatihah secara lengkap dalam setiap rakaat. Jika seseorang masuk Islam dan dia ingin shalat tetapi dia tidak mengetahui kecuali hanya sebagian al-Fatihah saja, lalu apakah dia wajib di dalam shalatnya itu membaca ayat-ayat al-Fatihah yang dia ketahui atau dia harus meninggalkan membaca al-Fatihah semuanya karena dia tidak mengetahui sebagian ayat-ayat al-Fatihah? Jawaban atas hal itu sesuai kaedah tersebut, dia harus membaca ayat dari al-Fatihah yang dia ketahui dan tidak boleh dia meninggalkan membacannya, karena apa yang mudah (yakni membaca ayat-ayat al-Fatihah yang dia ketahui) tidak gugur karena apa yang sulit (yakni membaca ayat-ayat al-Fatihah yang tidak dia ketahui) … Misal yang lain, seorang mukallaf dalam berwudhu wajib membasuh kedua tangannya sampai siku, tetapi telapak tangannya diamputasi, apakah dia wajib membasuh semua tangannya atau membasuh semua tangan itu gugur darinya karena dia tidak mampu membasuh sebagian tangan (telapak tangan)? Jawaban atas hal itu sesuai kaedah tersebut bahwa membasuh seluruh tangan (yang mudah/al-maysûr-) adalah harus hingga seandainya membasuh telapak tangan terhalang (sulit/al-ma’sûr) … Begitulah, topik kaedah ini menurut para ulama adalah hukum syara’ yang diperintahkan, jika seorang mukallaf tidak mampu melakukan sebagiannya karena hal itu sulit dia lakukan maka tidak gugur darinya keharusan melakukan apa yang mudah untuknya (dapat dia lakukan) dari perbuatan yang dituntut itu …
5- Sesungguhnya kaedah “al-maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr -apa yang mudah tidak gugur karena apa yang sulit-“ dan padanannya merupakan kaedah yang tidak terus menerus. Kaedah itu sah pada sebagian bidang dan tidak sah pada bidang lainnya. Misalnya, siapa yang tidak mampu berpuasa sehari penuh di bulan Ramadhan maka dia tidak wajib menahan dari seluruh hari itu dan seolah-olah dia berpuasa hari itu, dengan alasan apa yang mudah tidak gugur karena apa yang sulit (al-maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr). Tetapi dia berbuka dan mengqadha sejumlah hari yang dia lewatkan itu … Begitulah, tampak bahwa kaedah ini tidak terus menerus. Jadi kaedah ini layak diterapkan pada keadaan-keadaan dan tidak layak diterapkan pada keadaan-keadaan yang lainnya. Implementasinya memerlukan kesungguhan dalam mengkaji realita yang ingin diterapkan dan mengetahui hukum-hukum syara’ yang berkaitan … Para ulama telah memperingatkan bahwa keberadaan kaedan ini tidak terus menerus:
a- As-Suyuthi menyebutkan di dalam al-Asybâh wa an-Nazhâ`ir sebagai berikut: [perhatian: dari kaedah ini keluar beberapa masalah: di antaranya, orang yang mendapati sebagian hamba sahaya dalam kafarah maka dia tidak memerdekakannya, tetapi beralih kepada penggantinya, tanpa ada perbedaan pendapat dalam hal itu. Dan diarahkan bahwa pewajiban sebagian ar-raqabah (hamba sahaya) bersama dengan puasa dua bulan, adalah menghimpun antara pengganti dengan yang diganti. Dan puasa satu bulan disertai memerdekakan setengah hamba sahaya, di situ ada pembagian kafarah dan itu terhalang. Dan karean asy-Syâri’ berfirman:
﴿فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا﴾
“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur” (TQS al-Mujadilah [58]: 4).
Orang yang mendapatkan sebagian hamba sahaya berarti dia tidak mendapatkan seorang hamba sahaya … Dan di antaranya: orang yang mampu berpuasa sebagian hari tanpa mampu sehari penuh, maka dia tidak harus menahannya (pada sisa hari itu)…].
b- Demikian juga az-Zarkasyi di dalam al-Mantsûr fî al-Qawâ’idi menjelaskan perkara ini. Ia berkata: [sebagian yang mampu dilakukan apakah itu wajib, terbagi dalam empat bagian: Pertama, apa yang secara pasti adalah wajib. Hal itu seperti jika orang yang menunaikan shalat dia mampu atas sebagian al-Fatihah maka secara pasti dia harus membaca yang dia mampu itu …
Kedua: apa yang wajib menurut pendapat yang lebih shahih … Seandainya di tubuhnya ada luka yang menghalanginya terkena air maka madzhab adalah membasuh yang sehat, dan tayamum dari yang terluka …
Ketiga: apa yang secara pasti tidak wajib. Seperti jika orang mendapatkan kafarah yang telah diatur, dia mendapatkan berupa sebagian budak, maka secara pasti tidak wajib. Sebab syara’ maksudnya adalah disempurnakannya pembebasan apa yang mungkin … dan dia harus beralih kepada pengganti …
Keempat: apa yang tidak wajib menurut yang lebih shahih. Seperti andai orang yang berhadats yang tidak menemukan air, dia mendapatkan salju atau es yang tidak dapat cair maka dia tidak wajib mengusap kepala dengannya menurut madzhab. Sebab tertib adalah wajib,dan tidak mungkin menggunakan ini pada kepala sebelum sempurna membasuh wajah dan kedua tangan …].
Dengan ini tampak bahwa kaedah atau kaedah-kaedah yang ditunjuk itu tidak shahih secara mutlak dan tidak salah secara mutlak, tetapi shahih dan lurus pada sebagian keadaan dan tidak shahih pada bidang-bidang lainnya.
Kedua, berkaitan dengan istidlal menggunakan kaedah “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku mâ tayasara minhu -apa yang tidak dapat diraih/dilakukan semuanya maka tidak ditinggalkan apa yang mudah darinya-“ atau al-maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr (apa yang mudah tidak gugur karena apa yang sulit) terhadap topik bertahap dalam penerapan hukum-hukum syariah:
Istidlal dengan kaedah ini terhadap bolehnya gradual dalam penerapan hukum-hukum syara’ adalah dari sisi at-talbîs (membuat bingung) orang-orang dan dari sisi kebohongan terhadap agama Allah. Hal itu karena tidak ada ruang sama sekali untuk beristidlal dengan kaedah ini atas at-tadarruj (bertahap) dalam penerapan syariah. Hal itu dari sejumlah aspek:
1- Makna at-tadarruj (bertahap) dalam penerapan hukum-hukum syariah adalah menerapkan sebagian dari hukum-hukum syara’ pada sebagian perkara dan pada perkara-perkara yang lain diterapkan hukum-hukum kufur. Hal itu seperti akad pernikahan dijadikan sesuai hukum-hukum Islam, tetapi riba, zina dan minum khamr diperbolehkan. Dan seperti hukuman pencuri dibuat berupa potong tangan sementara hukuman orang yang berzina dan orang yang meminum khamr tidak diterapkan … Jadi makna hakiki at-tadarruj (bertahap) dalam penerapan hukum-hukum syara’ adalah berhukum dengan hukum-hukum kufur pada masalah-masalah tertentu dan bukannya berhukum dengan hukum syara’. Dan ini tidak diragukan lagi adalah jauh sejauh-jauhnya dari topik kaedah mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku kulluhu. Sebab kaedah ini mengatakan bahwa perbuatan yang diperintahkan secara syar’iy wajib dilakukan sebagiannya yang mudah (mungkin) jika pelaksanaan sebagian lainnya tidak mudah (tidak mungkin) karena tidak ada kemampuan. Jadi kaedah itu tidak mengatakan bahwa boleh melaksanakan keharaman atau menerapkan kekufuran ketika tidak mampu menunaikan apa yang diperintahkan …
2- Kaedah ini berbicara tentang perbuatan yang diperintahkan, bukan tentang perbuatan yang dilarang. Perbuatan yang diperintahkan adalah menerapkan syariah. Adapun penerapan selain syariah maka tidak diragukan lagi adalah dilarang, bahkan merupakan bagian dari dosa paling besar. Lalu bagaimana bisa berdalil dengan kaedah ini atas bolehnya menerapkan hukum-hukum kufur? Bukankah ini merupakan perkara yang aneh?!
3- Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan bertahap dalam penerapan hukum-hukum, yang mereka maksudkan dengan itu adalah bertahapnya penguasa dalam menerapkan syariah. Sementara, seorang penguasa itu tidak dihalangi oleh sesuatu pun dari penerapan syariah. Jadi tidak ada pada penguasa itu topik tidak adanya kemampuan, sebab dia adalah penguasa. Misalnya, apa yang menghalangi penguasa Muslim dari penerapan hukum-hukum syara’ semuanya daripada menerapkan hukum-hukum kufur pada sebagian besar bidang kehidupan? Bukankah dia adalah penguasa riil di negeri itu? Lalu kenapa dia tidak menerapkan hukum-hukum syara’, sebaliknya malah mengedepankan hukum-hukum kufur? Apakah realita penguasa itu semisal person yang tidak mampu berdiri dalam shalat karena sakit pada dirinya sehingga gugur darinya kewajiban berdiri dan dia boleh shalat tanpa berdiri? Lalu di mana aspek kemiripan di antara keduanya?!
4- Dan sebelum semua itu, nas-nas syar’iy yang dijadikan dalil untuk kaedah-kaedah ini tidak menunjukkan at-tadarruj (bertahap) sama sekali:
a- Firman Allah SWT:
﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (TQS at-Taghabun [64]: 16).
Ayat ini tidak memiliki mafhum mukhalafah. Yakni dari ayat tersebut tidak dipahami bahwa ketakwaan itu tidak diperintahkan ketika ada ketidakmampuan. Tetapi justru sebaliknya, ayat tersebut menunjukkan atas wajibnya mengerahkan segenap usaha dalam merealisasi ketakwaan dan berpegang teguh dengan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Imam ath-Thabari di dalam Tafsîr ath-Thabarî telah menonjolkan makna ini. Ia berkata: [ … firman Allah SWT:
﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (TQS at-Taghabun [64]: 16).
Allah berfirman: dan hati-hatilah dengan azab Allah wahai kaum Mukmin dan takutlah kepada sanksi-Nya, dan jauhilah azab-Nya dengan menunaikan kewajiban-kewajiban dari Allah dan menjauhi kemaksiyatan-kemaksiyatan kepada-Nya, serta mengamalkan apa yang mendekatkan diri kepada Allah menurut kemampuan kamu dan usaha maksimalmu]. Ibnu ‘Asyur mengunggulkan di dalam tafsirnya (at-Tahrîr wa at-Tanwîr) ketika menjelaskan ayat ini. Ia berkata:
[ … firman Allah SWT:
﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْراً لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ﴾ (16)
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” (TQS at-Taghabun [64]: 16).
Fâ` yang fashih dan pencabangan menurut apa yang telah dipaparkan. Yakni jika kamu mengetahui hal ini maka bertakwalah kepada Allah dalam ketakwaan yang wajib … dan disembunyikannya apa yang berkaitan (ittaqû -bertakwalah kamu-) untuk maksud menjadikannya berlaku umum (at-ta’mîm) apa yang berkaitan dengan ketakwaan berupa semua keadaan yang disebutkan dan yang lainnya. Dengan hal itu, ucapan ini seperti melampirkan, sebab kandungannya lebih umum dari kandungan apa yang sebelumnya. Dan ketika ketakwaan pada perkara yang disebutkan dan yang lainnya itu kadang pelakunya terkena kealpaan dalam menegakkannya karena perhatian untuk menyenangkan hawa nafsu pada banyak keadaan sesuatu itu, maka ditambahkan penegasan perintah takwa menggunakan firman-Nya: mâ istatha’tum -menurut kesanggupanmu-. Dan mâ itu adalah mashdar zharfiyah, yakni jangka waktu kesanggupanmu, agar berlaku umum mencakup waktu-waktu dan keadaan-keadaan mengikuti keumuman waktu dan juga meliputi kesanggupan, jadi tidak kosong dari takwa dalam sedikitpun waktu. Dan waktu dijadikan sebagai zharf (keteranga waktu) untuk kesanggupan, agar mereka tidak melalaikan dengan alpa pada sesuatu yang mereka mampu dalam perkara yang diperintahkan untuk bertakwa selama tidak keluar dari batas kesanggupan kepada batas kesulitan …] selesai.
Jadi ayat yang mulia itu menunjukkan dengan sejelas-jelasnya atas keharusan mengerahkan segenap kemampuan dalam bertakwa kepada Allah SWT dan tidak menyimpang dari perintah-perintah dan larangan-larangan Allah menurut kesanggupan seorang Muslim untuk itu. Ayat yang mulia itu tidak menunjukkan sama sekali atas at-tadarruj (bertahap) yakni atas bolehnya menerapkan hukum-hukum kufur disamping hukum-hukum syara’. Tetapi ayat tersebut menuntut untuk berpegang teguh kepada syara’ semuanya dengan kepatuhan paling jauh.
b- Hadis mulia yang digunakan beristidlal atas kaedah yang ditunjuk itu, seperti hadis yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari di dalam Shahîhnya dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw, Beliau bersabda:
دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»
“Biarkan saya dengan apa yang aku biarkan, tidak lain binasanya orang sebelum kalian adalah karena pertanyaan dan penyelisihan mereka kepada pada nabi mereka. Maka jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah dan jika aku memerintahkan suatu perkara maka tunaikanlah darinya menurut kesanggupanmu”.
Jadi hadis tersebut mengatakan berkaitan dengan apa-apa yang dilarang bahwa itu harus dijauhi. Keharaman-keharaman itu niscaya wajih dijauhi. Adapun apa yang diperintahkan maka itu dikaitkan dengan kesanggupan. Dan tidak diragukan lagi bahwa penerapan hukum kufur (di samping hukum-hukum Islam) dengan dalih bertahap adalah termasuk perkara yang dilarang oleh syara’ dengan dalil-dalil yang qath’iy. Allah SWT berfirman:
﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ﴾
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (TQS al-Maidah [5]: 44).
﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ﴾
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim” (TQS al-Maidah [5]: 45).
﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ﴾
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” (TQS al-Maidah [5]: 47).
Dan Allah SWT berfirman:
﴿وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُبِيناً﴾
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (TQS al-Ahzab [33]: 36).
Oleh karena itu, hadis tersebut sama sekali tidak menunjukkan bolehnya penelantaran dalam berhukum kepada syara’ dan menerapkan hukum-hukum kufur dengan dalih at-tadarruj (bertahap), sebab berhukum dengan selain apa yang telah Allah turunkan adalah termasuk keharaman dan perkara yang dilarang yang hadis itu mewajibkan untuk meninggalkannya.
Atas dasar itu, maka istidlal dengan kaedah ini terhadap at-tadarruj (bertahap) dalam menerapkan hukum-hukum syara’ adalah istidlal yang batil dan sama sekali tidak menjadi hujjah.
Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
05 Rabi’ul Akhir 1443 H
10 November 2021 M
https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/78643.html