Luka Kita, Kematian TKI Adelina
Oleh: Ainun Dawaun Nufus (pengamat Sospol)
Adelina meninggal, pada 11 Februari lalu, sehari setelah diselamatkan dari rumah majikannya. Laporan post-mortem yang dirilis Kepolisian Malaysia menyebut penyebab kematiannya ada kemungkinan besar bahwa Adelina telah ditelantarkan sebagaimana diungkapkan Dr Amir Saad Abdul Rahim. Adelina ditemukan dengan luka-luka di wajah dan tubuhnya. Dia juga dilaporkan nyaris 2 bulan tidur di beranda bersama anjing peliharaan majikannya.
Kematian Adelina membuat kita prihatin untuk ke sekian kalinya, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah mengambil pelajaran darinya. Pemerintah Indonesia juga mesti mengambil langkah serius untuk mengusut tuntas kasus ini dan kasus-kasus serupa. Peristiwa ini bisa menjadi cambukan bagi pemerintah dalam permasalahan TKI. Pemerintahlah yang bertanggung jawab penuh atas persoalan TKI. Kita berharap sang pengampu kebijakan tidak hanya bertindak responsif setelah adanya kejadian, dan tidak menyentuh pada akar persoalan, lalu setelah beriringannya waktu dan kasusnya pun reda, maka upaya penyelesaiannya pun ikut memudar.
Kita perlu juga mengambil pelajaran, secara lebih mendalam lebih dari setengah abad Indonesia merdeka dari penjajahan fisik. Namun, hingga kini mayoritas rakyatnya tidak hidup dalam kebaikan; kebanyakan mereka miskin, bodoh, dan teraniaya. Padahal negeri dengan populasi jumlah penduduk terbesar nomer empat di dunia (setelah Cina, India dan AS) ini memiliki potensi sumberdaya pertanian dan kekayaan mineral yang sangat melimpah. Ironisnya, sebagaimana yang diungkap AFP melaporkan sekitar 2,5 juta TKI bekerja di Malaysia, banyak yang merantau dengan cara ilegal di berbagai sektor, mulai dari pertanian hingga konstruksi. Sekitar 400.000 TKI perempuan bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia.
Hari ini kinerja BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) dinilai sebagian pihak kurang maksimal, maka perlu adanya evaluasi dan perbaikan. Problematika TKI seringkali muncul sejak awal proses pengiriman tenaga kerja. Agen-agen legal maupun ilegal yang mengedepankan profit oriented tanpa mengindahkan standarisasi TKI hanyalah akan menimbulkan persoalan ke depannya bagi TKI itu sendiri. Seperti halnya terjadi pemalsuan-pemalsuan dokumen, ketidakberesan proses rekrutmen, dsb. Karena itu pemerintah harus lebih melakukan kontrol yang lebih ketat hal tersebut.
Masalah berikutnya, banyaknya minat masyarakat yang memilih bekerja di luar negeri adalah akibat semakin menyempitnya lapangan pekerjaan di Indonesia. Negeri yang kaya akan potensi sumber daya alam ini ternyata belum bisa menjamin warganya untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Andai bisa memilih, tentu mereka akan lebih suka untuk dekat dengan keluarga yang dicintainya. Inilah PR besar yang harus segera dituntaskan oleh negara ini.
Sekali lagi, masalah buruh migran adalah masalah kita bersama, termasuk masalah sekularisme (keyakinan yang menolak campur tangan agama dalam kehidupan) mengatur Indonesia, terlepas dari siapapun yang berkuasa. Syariah Islam yang berasal dari Zat Yang Maha Pengatur tidak pernah diterapkan sejak negeri ini merdeka. Akibatnya, rakyat Indonesia terus-menerus hidup dalam krisis yang tidak berkesudahan. Indonesia, dengan penerapan sistem kapitalisme, terbukti gagal mengantarkan rakyat pada kesejahteraan dan keadilan. Inilah fakta dan keniscayaan dari sebuah sistem yang rusak, yang bersumber dari akal dan hawa nafsu manusia. []