Luhut Binsar Panjaitan (LBP) adalah Konfirmasi Kelemahan Jokowi
Oleh: Asyari Usman
Semakin banyak kekuasaan yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Luhut Binsar Panjaitan (LBP), menko kemaritiman. Kehadiran Pak LBP di mana-mana, mengomentari apa saja, menguatkan kesan yang samar-samar selama ini bahwa ada, mohon maaf sekali, “capability problem” (masalah kemampuan) di pihak Pak Jokowi. Untuk jabatan presiden, kondisi seperti ini sangat berbahaya. Rentan disalahgunakan.
Dari waktu ke waktu, capability problem itu terasa semakin akut. Pak Jokowi semakin banyak mentransfer kekuasaan dan wewenang kepada LBP. Sekarang ini, nyaris tidak ada aspek tugas kepresidenan yang tidak ada LBP di situ.
Pak LBP diberi wewenang untuk mengurusi investasi dari RRC. Wewenang untuk mengurusi reklamasi Teluk Jakarta. Ikut mengurusi pembangunan jalan tol, menangani urusan impor gas dari Singapura, ikut mengurusi pembangungan LRT di Jakarta, dan mengatur siapa-siapa yang harus duduk di Kantor Staf Presiden. Beliau juga dipercaya ikut menyiapkan personel penting dalam satuan pengamanan presiden.
Pak LBP juga hadir dalam pembangunan bandara. Mengawasi hal-ihwal PT Freeport. Bahkan, kata banyak orang yang paham politik, LBP mengawal Partai Golkar agar bisa dikendalikan oleh Jokowi. Terbukti kemudian Golkar, tepatnya Setya Novanto (Setnov), langsung menyerahkan bulat-bulat partainya kepada Jokowi. Acara puncak penyerahan itu dilakukan pada saat Novanto mendeklarasikan pencapresan Jokowi untuk Pilpres 2019.
Setnov kemudian menjadi “good boy”-nya Jokowi. Entah ada pengaruh Jokowi di KPK entah tidak, Setnov bisa tetap bebas meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka skandal superkorupsi e-KTP. Setnov pun “berani” tak menghadiri panggilan KPK. Ketika dia mengklaim dirinya dalam keadaan sakit, rupanya LBP merasa perlu meyakinkan media bahwa Setnov memang terbaring di rumah sakit.
Belum pernah terjadi dalam sejarah kepresidenan Indonesia, adanya pelimpahan kekuasaan yang sangat luas dan besar kepada seorang menteri. Baru di masa Pak Jokowi inilah kita saksikan. Mulai dari tugas keseharian, sampai soal politik eksternal.
Tetapi, apakah pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang luas kepada LBP itu menyalahi ketentuan konstitusi dan peraturan-perundangan?
Dari sisi kewenangan Presiden, kemungkinan tidak bermasalah. Presiden bisa saja menugaskan seorang menteri untuk melakukan banyak hal yang berada di luar otoritas kementeriannya. Tidak ada masalah.
Namun, dari sisi politiklah yang justru sangat fatal. Pelimpahan “unlimited power” (kekuasaan tak terbatas) kepada LBP, pada hakekatnya, mengisyaratkan bahwa Pak Jokowi melihat LBP memiliki kapasitas presidensial. Dalam kalimat lain, LBP-lah yang lebih layak menjadi presiden. Begitulah opini publik.
Dengan demikian, LBP hadir sebagai konfirmasi kelemahan Pak Jokowi. Konfirmasi bahwa beliau memerlukan “rekayasa kapabilitas”. Bantuan kapabilitas. Kelihatannya, LBP sejak awal telah mendeteksi keperluan itu. Pak Jokowi pun tampaknya memahami pula bahwa LBP bisa berperan besar untuk melakukan “rekayasa kapabilitas” tsb.
Sayangnya, “rekayasa kapabilitas” dilakukan dengan “teknologi Sumatra” yang masih kasar. Seharusnya, rekayasa bisa dikerjakan tanpa harus mengekspos problem serius Pak Jokowi dalam hal kapabilitas itu. Dengan gaya komentar sana-komentar sini, marah sana-marah sini, Pak LBP bukannya menolong Pak Jokowi untuk menyembunyikan masalah fundamental yang beliau hadapi, melainkan membeberkan secara terbuka kelemahan-kelemahan itu.
Padahal, LBP bisa bermain cantik tanpa harus beliau sendiri yang maju di setiap persoalan yang berkaitan dengan kemacetan tugas kepresidenan. Tanpa harus menunjukkan bahwa beliau, Pak LBP, mendapat mandat khusus yang sangat besar dari Presiden Jokowi. Tetapi, begitulah proses yang berlangsung. Begitulah pilihan mereka.
Bisa jadi keduanya bersepakat bahwa LBP harus bekerja seperti sekarang ini. Hanya saja, pilihan gaya “trouble shooter” yang diperankan LBP menunjukkan Pak Jokowi meyakini bahwa LBP lebih didengarkan, ditakuti, dan disegani ketimbang beliau sendiri. Sesuatu yang sangat ironis.
Pengeksposan kelemahan Pak Jokowi melalui kehadiran LBP dengan kekuasaan besar “berteknologi Sumatra”, mengukuhkan anggapan bahwa kapabilitas Pak Jokowi hanya terfokus pada public relation. Dalam hal ini, kita akui bahwa Pak Jokowi bisa cepat akrab dengan khalayak. Disukai oleh ibu-ibu yang merasa selama hari ini sulit menjumpai presiden.
Inilah kekuatan yang beliau andalkan. Pak Jokowi adalah vote-getter yang sangat efektif. Gaya blusukannya membuat media ikut terkagum-kagum. Kemampuan blusukan itulah yang diviralkan.
Unlimited power yang dipegang oleh Pak LBP mengkonfirmasikan pula bahwa kevisioneran Pak Jokowi, mohon maaf, absen sejak awal. Yang juga absen adalah “strong leadership” –kepemimpinan yang kuat. Kalau ketiadaan “strong leadership” itu hanya di lingkungan kabinet, masih bisa diatasi dengan “teknologi Sumatra” merek LBP.
Yang berbahaya adalah ketiadaan “strong leadership” ketika menghadapi rakyat secara langsung. Pengertian “leadership” di sini ialah kemampuan untuk selalu berada di depan, selalu unggul, atau di atas, ketika Pak Jokowi berada di hadapan khalayak yang memiliki “intellectuality threshold” (ambang batas intelektualitas) yang relatif tinggi. Problem kapabilitas mudah terekspos.
Ketereksposan “intellectuality threshold” itu pada gilirannya berakibat pada proyeksi karisma, penggambaran karisma. Sedangkan “being charismatic” (berkarisma) merupakan komponen terpenting di dalam bangunan “presidential personality” –personalitas kepresidenan.
Lantas, bagaimana selanjutnya? Sederhana saja. Seluruh rakyat Indonesia wajar memikirkan kelanjutan situasi yang sedang berlangsung saat ini. Sebab, presiden adalah produk demokrasi one-man, one vote. Rakyatlah yang menentukan siapa yang akan pilih dalam Pilpres.
Anda semualah yang akan menentukan apakah kepresidenan bergaya LBP dilanjutkan, atau mengubah Indonesia menjadi negara yang memiliki presiden yang karismatik dengan kapabilitas prima.
(Penulis adalah wartawan senior)