Lubang Proyek Infrastruktur

 Lubang Proyek Infrastruktur

Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
Pembangunan infrastruktur sejatinya merupakan ikhtiar agar Indonesia bisa menurunkan ketimpangan terutama ketimpangan antar­wilayah. Dengan adanya konektivitas yang lebih baik, biaya logistik bisa ditekan dan berujung pada pemerataan harga barang kebutuhan pokok di seluruh pelosok Indonesia. Jadi, ke depannya bukan hanya harga BBM yang sama antara Jakarta dan Papua, tapi juga harga beras dan minyak goreng.

Oleh karena itu, soal pentingnya pembangunan infrastruktur memang sudah tidak relevan lagi diperdebatkan. Pembangunan infrastruktur sudah begitu urgen dilakukan. Presiden Jokowi kerap membandingkan antara kondisi infrastruktur di Indonesia dan China. Panjang jalan tol di China sudah mencapai 85.000 km, sementara Indonesia baru 820 km. Intinya, pembangunan infrastruktur di Indonesia sudah sangat terlambat.

Ambisi Presiden Jokowi memang layak diapresiasi. Proyek infrastruktur pemerintah tercatat pada tahun 2017 berjumlah 245 proyek yang dituangkan dalam Proyek Strategis Nasional. Keberpihakan anggaran untuk membangun infrastruktur pun nyata terlihat. Pada tahun 2014 porsi belanja infrastruktur hanya 8,7% terhadap APBN, angka ini kemudian naik lebih dari dua kali lipat tahun 2017 menjadi 18,6%. Pemerintah memang tidak main-main dalam mengejar ketertinggalan infrastruktur.

Proyek Minim Dampak
Namun, belakangan mulai tercium gejala anomali karena pembangunan infrastruktur ternyata kurang berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Padahal secara teori, proses pembangunan infrastruktur memiliki multiplier effect terhadap lebih dari 20 subsektor mulai dari industri besi, industri semen, baja, hingga perbankan. Penyerapan tenaga kerja dengan adanya proyek infrastruktur juga idealnya terus meningkat.

Faktanya data BPS mencatat pertumbuhan sektor industri logam dasar justru tumbuh negatif -3,06% pada kuartal I 2017. Kondisi ini terus memburuk dibandingkan dengan kuartal III dan IV tahun 2016 karena pertumbuhan logam dasar turun drastis di bawah 1%. Kalau pembangunan infrastruktur digenjot sementara industri logam dasarnya turun, tentu kita wajib bertanya dari mana asalnya besi dan baja yang digunakan sebagai kerangka jembatan, jalan tol, dan rel kereta api?

Sementara konsumsi semen secara nasional periode Januari-Juni 2017 juga tercatat menurun 1,3% dari 29,4 juta ton menjadi 28,9 juta ton. Kondisi pabrik semen sekarang mengalami kelebihan kapasitas karena tidak terserap oleh pasar. Proyek infrastruktur terbukti tidak mendongkrak konsumsi semen.

Gencarnya pembangunan infrastruktur pun tidak berkorelasi terhadap naiknya penyerapan tenaga kerja. Buktinya, penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi justru anjlok dari 8,21 juta orang menjadi 7,98 juta orang tahun 2016 jika dibandingkan dengan tahun 2015. Artinya, terjadi pengurangan penyerapan tenaga kerja sebesar 230 ribu orang di sektor konstruksi. Jadi logikanya sulit diterima, bagaimana mungkin pembangunan infrastruktur tidak menyerap tenaga kerja?

Data soal ketidaksinkronan antara proyek pembangunan dan penyerapan tenaga kerja juga terlihat dari perkembangan upah riil buruh bangunan, yakni upah yang diterima buruh bangunan setelah dikurangi inflasi. Upah riil buruh bangunan berdasarkan data BPS tercatat menurun hingga -1,9% pada Juni 2017 dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya.

Waspada Etatisme
Jika ditelusuri lebih jauh penyebab turunnya kualitas pembangunan infrastruktur terhadap perekonomian bisa dikaitkan dengan ketimpangan antara kontraktor besar dan kecil. Data Gapensi (Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia) menjawab teka-teki kegagalan proyek infrastruktur dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

Berdasarkan keterangan Gapensi, proyek infrastruktur pemerintah hanya dilakukan oleh kontraktor besar sehingga penguasaannya mencapai 87%. Sementara kontraktor lokal kecil hanya kebagian 6% dari total proyek. Trickle down effect proyek infrastruktur pun diragukan bisa menetes ke bawah.

Kontraktor besar tentu masih didominasi oleh BUMN karya. Laba BUMN konstruksi terus melesat sejak gencarnya proyek infrastruktur. Begitu juga bank-bank BUMN yang menyuplai modal ke BUMN karya ikut kebagian laba jumbo. Kalau modelnya terus seperti ini, maka pembangunan nasional makin menjadi etatisme alias semua pembangunan dikerjakan oleh perusahaan negara tanpa menggandeng swasta.

Di lapangan, pengerjaan tek­nis proyek infrastruktur juga harus berhadapan dengan segudang masalah. Data terakhir per Februari 2017, proyek infrastruktur yang sudah selesai atau commercial operation date (COD) baru 9%. Pembangunan proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung bisa dijadikan contoh terbengkalainya pengerjaan proyek pemerintah. Padahal telah dilakukan ground breaking sejak Januari 2015.

Berdasarkan laporan terakhir 29 tim khusus yang dibentuk Pemprov Jawa Barat menemukan fakta pembebasan lahan proyek kereta cepat melibatkan 6.000 pemilik lahan berbeda. Bisa dibayangkan biaya yang keluar untuk pembebasan lahan saja sudah mahal. Wajar banyak kontraktor swasta apalagi menengah kecil yang urun niat bergabung di proyek infrastruktur.

Hitung Kemampuan
Meskipun infrastruktur bermanfaat dalam jangka panjang, tapi sebaiknya Pak Jokowi mengukur kembali kemampuan anggaran maupun kesiapan teknis. Perlu dicatat juga bahwa pembangunan infrastruktur mengorbankan anggaran lainnya yang sebagian diambil dari utang dan pencabutan subsidi energi.

Jumlah utang pemerintah terus naik lebih dari Rp1000 triliun hanya dalam waktu 2,5 tahun masa pemerintahan Jokowi-JK dengan alibi membangun infrastruktur. Kemudian hal berikutnya adalah soal pencabutan subsidi energi yang jumlahnya telah berkurang hingga 77,9% dari 2014-2017. Subsidi energi yang terus dicabut karena pemerintah bernafsu menambah anggaran infrastruktur menjadi salah satu penyebab anjloknya daya beli masyarakat, terutama sejak subsidi listrik 900 VA dicabut.

Oleh karena itu, kita wajib berharap proyek infrastruktur bisa terus dilanjutkan untuk meratakan pembangunan ekonomi. Namun, jangan mengulang kisah terbengkalainya proyek yang berubah menjadi monumen di tengah kota karena salah kalkulasi. Selain itu, ketimpangan antara kontraktor besar dan kecil harus segera diselesaikan untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Sekali lagi, ambisi boleh setinggi langit, tapi perlu lebih realistis dan terukur karena ada uang rakyat di tiap infrastruktur yang dibangun. Satu rupiah pun jangan sampai mubazir.[]

Sumber: Koran Sindo

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *