oleh editor
1. Pembangunan Ekonomi berbasis Utang Luar Negeri Bukanlah Resep Sukses
Untuk jangka panjang, Erdogan membenarkan cara-cara otokratis atas mandat ekonominya, yang di atas kertas memang terlihat mengesankan. Pada tahun 2002 ketika AKP mulai berkuasa PDB Turki hanya $ 240 miliar. Belanda, yang memiliki penduduk lebih kecil dari Istanbul memiliki ekonomi yang lebih besar. Saat ini, GDP Turki telah meningkat tiga kali lipat dan bernilai $ 850 miliar, hanya masalah waktu saja saat akan mencapai $ 1 triliun. Kinerja ekonomi yang kuat ini bahkan memberikan kebijakan ekonomi Erdogan gelar sebagai ‘Erdogonomics’ [1]. Ini semua terlepas keterpaduan karena tidak didasarkan pada pembangunan ekonomi domestik, manufaktur atau perkembangan teknologi, tetapi pada utang luar negeri. Berbeda dengan negara-negara dengan pertumbuhan tinggi lainnya seperti China, yang memfokuskan ekonominya pada manufaktur dan mengekspor produk-produknya ke pasar global. Booming ekonomi Turki sebagian besar didasarkan pada konsumsi domestik melalui impor dan ledakan bangunan yang dibiayai oleh kredit mudah. Ketika Erdogan berkuasa utang luar negeri Turki mencapai $ 110 miliar, pada hari ini utang telah meroket menjadi $ 466 miliar [2] – 52% dari PDB. Utang luar negeri akan selalu menimbulkan masalah karena Anda akan bergantung pada entitas asing jika Anda tidak dapat melunasi utang. Karena Erdogan tidak menggunakan utang untuk mengembangkan basis industri, penelitian, dan pengembangan atau teknologi yang sedang berkembang, Turki kini berjuang untuk membayar utang ini karena didenominasi dalam dolar dan perubahan nilai tukar dolar-lira telah meningkatkan jumlah utang sebesar tiga kali lipat.
2. Turki Tidak Dibangun Berdasarkan Kekuatan atau Keuntungannya
Perekonomian Turki terdiri dari 64% jasa, 27% industri dan 8% pertanian. Sektor terbesarnya – jasa, didorong oleh perbankan, transportasi, pariwisata, dan komunikasi. Industri berat suatu negara sangat penting bagi negara mana pun yang ingin mandiri. Tetapi industri tekstil Turki mendominasi sektor manufaktur, yang merupakan 16,3% dari total kapasitas industrinya. Tekstil juga merupakan bagian terbesar dari ekspor Turki. Erdogan telah berkuasa selama 16 tahun dan meskipun memiliki kekayaan mineral dan mengalami perkembangan ekonomi, semuanya telah dirangsang oleh utang. Pertumbuhan semacam ini berkelanjutan selama investor asing percaya bahwa mereka dapat mendapatkan keuntungan yang lebih baik untuk uang mereka di Turki daripada di negeri lain; namun saat mereka kehilangan kepercayaan, kehilangan likuiditas dapat menyebabkan masalah yang cukup besar. Industri dasar Turki berkembang dengan baik dan menggunakan teknologi terbaru; namun hal ini seharusnya membuat Turki menjadi negara industri maju yang memiliki berbagai mesin industri dan elektronik yang berasal dari lini produksinya. Tetapi fokus pada barang dan jasa konsumen telah menahan kemungkinan itu menjadi kekuatan independen.
3. Amerika Hanya Memiliki Kepentingan Strategis, Bukan Sekutu Permanen
Sejak Erdogan berkuasa kembali pada tahun 2002 ia telah melihat perlunya hubungannya dengan AS untuk melawan kaum Kemalis dan untuk mengubah Turki menjadi kekuatan yang layak. AKP tidak pernah menyembunyikan hubungannya dengan AS dan telah menggunakannya untuk memproyeksikan citra kekuatan. Namun, jika ada keraguan bahwa ini bukan merupakan hubungan timbal balik, maka sekarang sudah terbukti demikian, karena AS menolak untuk menjual jet tempur F-35 ke Turki dan telah menerapkan tarif pada ekspor baja dan aluminium Turki ke AS. Meskipun bekerja dengan AS di Suriah, Irak dan sejumlah besar masalah regional lainnya, ini tidak berarti apa-apa bagi AS saat kepentingan strategisnya dipertanyakan. Kongres AS pada bulan Juli lalu telah meloloskan RUU yang diintegrasikan ke dalam Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional, yang merupakan RUU yang meloloskan anggaran pertahanan Amerika. Meskipun Presiden Trump dan Gedung Putih meresmikan F-35 pertamanya ke Turki pada bulan Juni saat pilot-pilot Turki mulai pelatihan dengan jet-jet baru. Kongres benar-benar melemahkan Gedung Putih dan meloloskan RUU yang melarang penjualan jet ke Turki selama tiga bulan. Meskipun Erdogan dekat dengan AS, para anggota Kongres AS telah mengkianati sekutunya Turki saat Turki berada dalam saat kritis. Bagi AS, hubungannya dengan Turki adalah sarana untuk mencapai tujuan, mereka melihat Turki sebagai alat untuk melestarikan kepentingannya di Irak, Suriah, Timur Tengah dan Kaukus yang lebih luas. Mereka tidak ingin membagi wilayah atau masalah dengan Turki, tetapi ingin agar Turki melaksanakan agendanya. Namun, Erdogan berpikir sebaliknya, entah itu karena kenaifannya atau sedang bersekongkol dengan agenda AS. Dengan menerapkan sanksi ekonomi terhadap Turki, melarang penjualan jet tempur generasi ke-5 yang strategis, bukanlah cara bagaimana sekutu saling berhubungan satu sama lain.
4. Turki Berada dalam Posisi Kuat, bukan Posisi Lemah
Turki, sebagaimana banyak para penguasa di dunia Muslim, bekerja pada posisi yang lemah, dengan menganggap bahwa mereka membutuhkan AS padahal realitasnya adalah AS lah yang membutuhkan para penguasa. Saat ini, Turki berada pada saat kritis dan perlu solusi atas berbagai isu strategis yang tanpanya hal-hal itu praktis tidak dapat dipecahkan. Jika karena bukan Turki yang mengamankan Irak utara selama pendudukan Amerika, AS akan tenggelam dalam pemberontakan yang bisa membuatnya kering hingga mati. Turki membiayai pembangunan infrastruktur di Irak utara dan memastikan bahwa kawasan itu menjadi entitas yang layak. Di Suriah, Turki menjadi pusat atas penyelesaian akhir apapun. Negeri itu telah mempersenjatai Tentara Pembebasan Suriah (FSA) dan sejumlah kelompok pemberontak lainnya yang menjadi pusat dari seluruh konflik di negara itu. Kesepakatan migrasi Uni Eropa dengan Turki telah memastikan bahwa jumlah pengungsi yang datang ke Eropa dari wilayah-wilayah yang rusak akibat perang menjadi dibatasi, tanpa perjanjian ini Eropa akan berjuang dengan arus masuk pengungsi. Demikian pula, Turki adalah pusat strategi keamanan energi Eropa di masa depan karena banyak energi Asia Tengah dan energi Kaspia harus melintasi wilayah Turki. Terlepas dari posisi kekuatan ini, respons Erdogan tidak ada bandingannya. Turki secara terbuka diancam oleh Trump dan para pejabat AS lainnya dalam upaya membebaskan Pendeta Amerika Andrew Brunson. Meskipun Erdogan dan para pejabatnya tidak menanggapi dengan keras atau memberikan ancaman serupa. Sebaliknya, mereka hanya mengkritik gaya Amerika yang keras. Turki berada dalam posisi yang kuat, tetapi Erdogan melakukannya dari posisi lemah.
5. Turki Seharusnya Memberikan Tatanan Dunia Baru Bukannya Meneguhkan Tatanan Liberal Yang Sedang Runtuh
Terlepas dari semua kecaman dan perkataan Erdogan yang merujuk kepada Islam, dia hanya menjunjung tinggi struktur dan institusi global saat ini dan tidak bekerja dengan independen dengannya. Terlepas dari digunakannya warisan Uthmani negara itu, Turki tidak melampaui retorika ini menjadi suatu tindakan dan kebijakan yang tegas. Ketika tatanan liberal global runtuh maka seiring dengannya para pembuat kebijakan AS akan jatuh sendiri: Tiongkok terus mengoyak dan menggerogoti tatanan liberal global. Erdogan tidak memiliki agenda besar seperti itu dan senang menjadi seorang pemain di antara banyak pemain di kancah politik internasional. Dalam semua masalah Turki, adalah pusat penyelesaian, Erdogan tidak mengajukan solusi politik apa pun kepada mereka, tetapi malah bekerja untuk menjadi bagian dari rencana politik Amerika. Tidak ada bangsa dalam sejarah yang pernah menjadi suatu kekuatan dengan melakukan tawar menawar dengan negara lain. Faktanya, AS sendiri berperang untuk mendapatkan kemerdekaannya melawan Inggris dan kemudian terlibat dalam pertempuran selama 100 tahun untuk menyingkirkan benua Amerika dari penjajah Eropa. Terlepas dari segala yang telah dilakukan Erdogan bagi AS, dia ditampar dengan pemberlakuan sanksi dan tarif. Dunia sedang mencari alternatif, Erdogan perlu memutuskan apakah dia ingin menjadi seorang perintis tatanan dunia baru seperti nenek moyangnya, atau hanya menjadi jejak kaki dalam sejarah.
[1] https://www.economist.com/special-report/2016/02/06/erdoganomics
[2] http://www.hurriyetdailynews.com/turkeys-external-debt-stock-reaches-466-7-billion-in-first-quarter-133976