Lima Masalah Akut Isu Separatisme Papua yang Kembali Menyeruak

 Lima Masalah Akut Isu Separatisme Papua yang Kembali Menyeruak

Mediaumat.id – Sedikitnya ada lima permasalahan akut berkaitan dengan isu separatisme Papua yang kembali menyeruak ke permukaan. Hal ini disampaikan Pengamat Politik Islam Dr. Riyan, M.Ag. dalam Kajian Siyasi: Ada Apa di Balik Petaka Separatisme Papua? di kanal YouTube Ngaji Subuh, Selasa (25/4/2023).

Pertama, berkenaan dengan sejarah status politik integrasi Papua ke Indonesia yang sudah berlangsung lama. “Bahkan awal mula bergabungnya Papua menjadi bagian dari NKRI bukan tanpa masalah,” ungkapnya.

Artinya, kendati di era Soekarno hingga Soeharto upaya menggabungkan Papua menjadi bagian NKRI mendapatkan pengakuan internasional melalui PBB dan dianggap selesai sejak 1949, tetapi ‘aroma busuk’ kian tercium.

“Pepera dianggap penuh kecurangan dan intimidasi. Sehingga saat itu, ada anggapan bahwa Indonesia pada awalnya telah menganeksasi Papua ke dalam bangsa ini,” kata Riyan terkait Penentuan Pendapat Rakyat yang digelar pada tanggal 14 Juli–2 Agustus 1969 untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua, antara memerdekakan diri atau integrasi dengan Indonesia.

Kedua, kekerasan dan pelanggaran HAM sejak 1965 yang menyisakan ketidakadilan terhadap rakyat Papua, yang salah satunya terjadi pada akhir tahun 2018 yakni kasus penembakan 31 pekerja Jalan Trans Papua.

Di sisi lain, tambah Riyan, mahasiswa Papua di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, Malang, Makassar, termasuk Provinsi Bali dan Papua sendiri, pun kerap mendapatkan intimidasi, ancaman kekerasan, tindakan rasis, penggerebekan asrama, pembubaran aksi diskusi maupun penangkapan sewenang-wenang.

Ketiga, diskriminasi dan marjinalisasi orang Papua di tanah sendiri. “Penyebutan ‘monyet’ oleh aparat adalah di antara bukti diskriminasi terhadap rakyat Papua,” sebutnya, seraya menyesalkan rasisme yang terus terjadi pada rakyat Papua.

Keempat, kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.

Dengan kata lain, proses pembangunan selama ini difokuskan pada infrastruktur, bukan kesejahteraan penduduk asli Papua. Sebutlah pembuatan Jalan Trans Papua yang menurut Riyan, telah menyedot dana triliunan rupiah namun sama sekali tak menyentuh akar permasalahan Papua.

Hal senada pun pernah disampaikan Gubernur Papua Lukas Enembe dalam satu acara gelar wicara ‘Mata Najwa’, Rabu (21/8/2019) di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Gubernur Lukas menyebut hal paling krusial seperti kemiskinan dan buruknya kualitas sumber daya manusia tak serius diselesaikan pemerintah.

Bahkan dikarenakan rakyat Papua banyak yang tidak memiliki kendaraan, pemanfaatan dari pembangunan jalan Trans Papua misalnya, belumlah bisa disebut optimal. “Rakyat Papua butuh penghidupan, bukan pembangunan,” ungkap Lukas.

Kelima, keterlibatan asing dan upaya internasionalisasi Papua, yang kata Riyan, hal ini diungkapkan sendiri oleh Menkopolhukam Wiranto kala itu.

“Menko Jenderal Wiranto menyampaikan bahwa ada keterlibatan asing dalam kasus Papua. Salah satunya adalah keterlibatan Benny Wenda, tokoh Papua Merdeka dalam melakukan provokasi di luar negeri,” kutip Riyan.

Sebagaimana diketahui, Benny sendiri juga pernah menyampaikan dalam Forum Kepulauan Pasifik (PIF) pada 13-16 Agustus 2019 di Tuvalu, bahwa pelanggaran HAM dan penindasan sipil yang menimpa Papua adalah kanker di hati orang-orang Pasifik.

Karenanya, kala itu Benny lantas meminta dukungan dari negara-negara tergabung agar pelanggaran HAM dan penindasan cepat berakhir yaitu dengan Papua merdeka.

Kepentingan SDA

Lebih jauh meski Amerika Serikat (AS) tampak mendukung kedaulatan Indonesia atas Papua, sebagaimana klaim Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di Gedung Bina Graha, Jakarta, Senin, 2 September 2019, namun realitasnya tidaklah demikian.

Artinya, kata Riyan, sekalipun pemerintah AS menyatakan tidak mendukung disintegrasi Papua, persetujuan mayoritas kongres terhadap RUU 2601 yang memuat masalah Papua menunjukkan AS akan mendukung pelepasan Papua dari Indonesia.

“Persetujuan mayoritas kongres terhadap RUU tersebut menunjukkan Amerika Serikat akan mendukung pelepasan Papua dari Indonesia,” ulasnya.

Ditambah media asing juga turut berperan dalam upaya Papua Merdeka.

“Lihat saja bagaimana sejumlah media asing sebut saja New York Times yang menyoroti warga Papua membakar ban-ban hingga gedung parlemen daerah di Manokwari sebagai respons atas penangkapan puluhan mahasiswa Papua di Surabaya sehari sebelumnya,” beber Riyan.

Lantaran itu, dikarenakan adanya kepentingan seputar penguasaan sumber daya alam yang melimpah di Papua, Riyan pun tak heran apabila AS sampai merepotkan diri mengurusi Papua seperti yang selama ini dilakukan.

“Bayangkan jika Papua merdeka, akan semakin mudah negara kafir penjajah itu mengeksploitasi sumber daya alam di Papua,” tukasnya.

Sebut saja Freeport yang awalnya berproduksi tembaga, namun belakangan diketahui ternyata juga memproduksi emas. “Tentu Amerika akan bersusah payah untuk terus mengeksploitasinya,” cetusnya.

Dengan demikian, Riyan pun menyimpulkan, bahwa secara makro akar masalah di Papua adalah ketidakadilan yang melahirkan separatisme, eksploitasi kemudian rasisme, kegagalan pembangunan SDM hingga keterlibatan asing.

“Separatisme menjadi pintu masuk paling awal eksploitasi tentang sumber daya alam yang sekarang ini menimbulkan berbagai masalah tersebut,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *