Lima Hakim Konstitusi Langgar Konstitusi dan Langgar Kewenangan DPR?
Mediaumat.id – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan, lima hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan uji materiil Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron tentang perubahan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari 4 tahun menjadi 5 tahun terindikasi melanggar konstitusi dan melanggar kewenangan DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang.
“Lima hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan uji materiil Nurul Ghufron, mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun, terindikasi melanggar konstitusi, mereka melanggar kewenangan DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang,” ujarnya dalam rilis yang diterima Mediaumat.id, Senin (29/5/2023).
Anthony melihat, putusan lima hakim konstitusi tersebut sangat aneh, tidak masuk akal, dan patut dipertanyakan. Putusan tersebut bisa membahayakan penegakan konstitusi.
Koreksi
Ia mengoreksi, lima hakim konstitusi yang berpendapat masa jabatan 4 tahun untuk pimpinan KPK bersifat diskriminatif, sehingga melanggar pasal 28D ayat 1, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Sebab masa jabatan 12 komisi lainnya mempunyai masa jabatan 5 tahun, seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Yudisial, dan seterusnya.
Menurut Anthony, yang dimaksud dengan “Kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, seperti dimaksud pasal 28D ayat 1, harus dimaknai sebagai perlakuan yang sama dalam pelaksanaan sebuah UU.
“Artinya, semua pimpinan KPK wajib mempunyai masa jabatan yang sama, yaitu 4 tahun. Tidak ada yang boleh lebih atau kurang dari 4 tahun,” tegasnya.
Anthony mengatakan, frasa “Perlakuan yang sama” tidak berarti semua undang-undang harus sama, tidak berarti masa jabatan untuk semua lembaga atau komisi independen harus sama. Artinya, perbedaan masa jabatan pimpinan antar lembaga, atau antar komisi, yang diatur di masing-masing undang-undang, tidak bisa dimaknai diskriminatif.
“Karena, penentuan masa jabatan merupakan wewenang DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang, dan karena itu penetapannya tergantung dari sudut DPR dalam melihat peran komisi independen bersangkutan terhadap kepentingan bangsa dan negara,” terangnya.
Anthony menilai, KPK adalah lembaga independen untuk memberantas korupsi yang menjadi musuh utama seluruh rakyat Indonesia, karena korupsi merupakan tindak pidana yang merampas hak rakyat, dan memiskinkan rakyat. Masa jabatan pimpinan KPK 4 tahun justru memperkuat independensi KPK, karena kepemimpinan KPK akan lintas pemerintah dan DPR, sehingga tidak dipengaruhi kekuasaan.
Ia mengungkapkan, pimpinan KPK yang akan datang (seharusnya periode 2023-2027), dipilih oleh presiden dan DPR saat ini, tetapi kepemimpinan KPK tersebut akan berlanjut hingga pemerintahan dan DPR selanjutnya. Dengan demikian, independensi KPK lebih terjamin, dan tidak berada di bawah kekuasaan pemerintah yang menunjuknya.
Masa jabatan komisi independen yang tidak sama dengan kekuasaan, menurut Anthony, secara prinsip lebih menjamin profesionalisme dan objektivitas dalam pemilihan pimpinan KPK, tidak politis, tetapi berdasarkan integritas calon pemimpin KPK tersebut.
Menurutnya, hal ini juga sejalan dengan putusan MK ketika mengadili uji materiil masa jabatan dan periode jabatan kepala desa, yang di dalam undang-undang tentang desa, ditetapkan 6 tahun dan dapat dipilih untuk 3 periode. Peraturan ini jelas beda dengan masa jabatan dan periode jabatan untuk pejabat publik lainnya, yang umumnya 5 tahun dan dibatasi hanya 2 periode.
Anthony menuturkan, MK dalam hal ini hakim konstitusi, sepenuhnya paham, bahkan menegaskan bahwa masa jabatan dan periode jabatan kepala desa tersebut sah secara konstitusi, meskipun berbeda dengan masa jabatan untuk pejabat publik lainnya. Alasan ini seharusnya juga berlaku bagi undang-undang KPK, peraturan masa jabatan 4 tahun untuk pimpinan KPK adalah sah dan konstitusional.
“Tetapi, lima hakim konstitusi berpendapat lain, terindikasi sedang mempermainkan konstitusi. Menurut UU pemilu, penjelasan pasal 169, butir d, pelanggaran konstitusi termasuk pengkhianat negara. Karena itu, wajib diberhentikan,” pungkasnya.[] Agung Sumartono