Legalisasi Miras dan LGBT Mengundang Adzab Allah SWT

Oleh: Umar Syarifudin

“Saya dengar 8 partai politik setuju peredarannya,” ujarnya di Jakarta, Jumat (29/12/2017). (http://nasional.kompas.com/read/2017/12/29/17131571/ketua-mpr-saya-dengar-8-partai-dukung-peredaran-miras)

Beberapa pernyataan yang menjadi sorotan rakyat Indonesia yang disampaikan Ketua MPR Zulkifli Hasan baru-baru ini, diantaranya dalam pembahasan RUU Minuman Keras ( Miras), 8 partai di DPR justru mendukung peredaran miras.

Zulkifli juga memberi bocoran tentang dukungan sejumlah parpol terhadap perilaku Lesbian Gay Biseksual Transgender (LGBT). Hal itu diketahui saat DPR membahas undang-undang LGBT dan pernikahan sesama jenis.

“Di DPR saat ini dibahas soal undang-undang LGBT atau pernikahan sesama jenis. Saat ini sudah ada lima partai politik menyetujui LGBT,” kata Zulkifli di Kampus Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jalan Raya Sutorejo Nomor 59, Mulyorejo, Surabaya, Sabtu (20/1). (http://beta.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/01/20/p2ukix330-ketua-mpr-lima-fraksi-setujui-lgbt-dan-pernikahan-sejenis)

Catatan

Kami menyoroti pernyataan Zulkifli Hasan, sebagai pernyataan serius. Jika ungkapannya menemukan realitasnya, langkah-langkah parpol pendukung Miras dan LGBT kontraproduktif terhadap berbagai upaya untuk membersihkan laju kerusakan dan perusakan generasi yang diakibatkan oleh jeratan minuman beralkohol dan LGBT. Langkah ini juga sekaligus menguatkan bahwa selama ini upaya penanggulangan persoalan miras, narkoba, dan zat berbahaya lainnya tampak tidak serius.

Ketidakseriusan ini juga tampak dari bagaimana upaya menanggulangi persoalan narkoba di negeri ini yang tidak efektif, tidak menusuk ke jantung persoalan, sehingga kita seringkali dibuat pesimis bahwa miras dan LGBT akan berhasil diselesaikan dari negeri kita tercinta.  Tak sedikit cermin kegagalan negara lain dalam mengefektifkan pemberantasan miras dan LGBT, ketika Negara-negara tersebut memberikan jaminan perlindungan atas tindakan perbuatan-perbuatan tersebut lewat undang-undang.

Siapa pun dapat melihat masalah dan menunjukkan kesalahan para pendukung LGBT dan miras, namun saat ini senyap yang minim dari solusi nyata. Para praktisi dan politisi pendukung liberalisme telah lama mendiskusikan kebebasan di banyak hal, dan sebagian memilih diam membiarkan orang lain telah melakukannya. Masyarakat diberi kesempatan menjadi penonton dan jadi objek pasar bagi media. Dan kita telah menemukan pembenaran atas krisis moral sebagian politisi dan generasi. Sementara sebagian masyarakat meninggalkan anak-anak mereka untuk dipengaruhi oleh budaya kemaksiatan tanpa mempedulikan nilai alternatif sebagai solusi bagi anak-anak mereka.

Apa yang diungkapkan Zulkifli Hasan menunjukkan, adanya partai-partai yang mengabaikan pembangunan generasi baru yang tidak menegakkan nilai-nilai Islam yang manusiawi dan indah ini, mereka memilih mendukung sistem nilai yang tidak sesuai untuk semua rakyat Indonesia. Kaum liberalis mengklaim bahwa ketika tidak ada kebebasan, ada penindasan. Ini adalah penipuan besar, karena jelas Anda melihat bahwa ungkapan ini adalah kampanye kebebasan liberal yang telah menjadi sumber penindasan bagi begitu banyak generasi.

Dogma kebebasan telah menjadi slogan dan cita-cita ilusif dalam budaya populer Barat yang kenyataannya menyuburkan kebebasan untuk melampiaskan hawa nafsu diri termasuk konsumsi miras dan LGBT, budaya individualisme dan ketidakpedulian terhadap orang lain justru penyakit mengganggu masyarakat, dari elit politisi ke akar rumput. Dampak selanjutnya meningkatkan penyalahgunaan narkoba, alkoholisme, kehamilan remaja, maraknya geng-geng kriminal, maraknya perilaku anti-sosial. Semua indikasi budaya yang rendah akibat sistem kapitalisme.

Lebih jauh lagi perdagangan miras maupun LGBT sebagai manifestasi invasi budaya dari barat untuk merusak generasi.  Adapun perlindungan terhadap produksi, distribusi dan konsumsi miras saat ini merupakan kelemahan sistem hukum negara-negara yang melegalkannya. Kenyataan tentu lebih memprihatinkan lagi di negara-negara berkembang yang umumnya sistem dan penegakan hukumnya lemah, terlebih di negara-negara yang tingkat korupsinya besar. Kita pun bisa membayangkan betapa mudahnya Indonesia untuk dilemahkan –negara yang sistem dan penegakan hukumnya sangat lemah dengan tingkat korupsi yang luar biasa–untuk dijadikan objek imperialisme setelah generasinya dirusak.

Di sinilah peran Islam yang disyiarkan oleh para pembelanya untuk terus menumbuhkan keimanan sebagai benteng diri bagi setiap individu masyarakat, serta perlunya kontrol sosial dari masyarakat khususnya ulama dan politisi yang masih lurus akhlaknya, untuk menjadikan miras dan LGBT sebagai musuh bersama, serta menuntut negara untuk bertanggung jawab yang didukung perangkat hukum yang tegas sangat dituntut untuk membentengi jiwa-jiwa rakyatnya agar tidak terjerembab dalam kubangan kemaksiatan, kerusakan dan adzab Allah Swt.[]

Share artikel ini: