LBH Pelita Umat Ungkap Pasal-Pasal RUU KUHP yang Diduga Otoritarian
Mediaumat.id – Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan mengungkap pasal-pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2019 (RUU KUHP) yang berpotensi otoritarian.
“Pertama, norma terkait masalah penghinaan atau merendahkan kehormatan bendera negara-negara sahabat,” ungkapnya dalam acara Live Diskusi Online Media Umat: Membungkam Rakyat ala RUU KUHP? di kanal YouTube Media Umat, Ahad (3/6/2022).
Chandra mencontohkan. Pertama, norma terkait merendahkan bendera negara sahabat. Andai India melakukan tindakan persekusi terhadap umat Islam, kemudian rakyat Indonesia protes dengan membakar atau menginjak-injak bendera India, maka pemerintah Indonesia dapat melaporkan.
Parahnya lagi, lanjut Chandra, kalau deliknya formil, artinya pemerintah India tidak melapor sekalipun ini bisa ditindak langsung karena dianggap sebagai penghinaan, merendahkan bendera negara sahabat. “Nah, ini yang menjadi perhatian penting kalau norma ini nantinya masih ada di RKUHP,” ingatnya.
Kedua, norma terkait merendahkan martabat pemimpin negara sahabat. “Saya contohkan, andai Amerika melakukan pembantaian terhadap kaum Muslim di Irak, Afganistan, kemudian kita protes dengan mengatakan presiden Amerika itu zalim, presiden Amerika itu teroris. Jika norma RKUHP itu formil maka itu bisa ditindak meskipun tidak ada laporan dari pihak berwenang dari Amerika,” ucapnya.
Ketiga, norma yang dapat mengkriminalisasi demonstrasi. “Kalau di undang-undang yang lama (Undang-Undang nomor 9 tahun 1998) terkait kebebasan menyampaikan pendapat, demonstrasi itu ranahnya administratif (surat-menyurat), tidak wajib minta izin tapi wajib memberitahu.
Menurut Chandra, di draf RKUHP (2019) jika tidak mendapatkan izin berpotensi dipidana. “Bayangkan awalnya ranah administatif sekarang menjadi ranah pidana. Ini berbahaya karena akan banyak masyarakat yang masuk penjara,” jelasnya.
Keempat, norma terkait menghina, melecehkan lembaga negara atau pejabat negara. “Misal, kita melakukan kritik terhadap kebijakan atau tindakan. Nah, kalau pejabat negara ini merasa terhina atas kritikan itu, ini bisa dipersoalkan,” terangnya.
Ditambah lagi dengan norma penyebaran berita bohong. “Misalnya kita mengkritik kebijakan berdasarkan data yang didapatkan dari internet, dari berita-berita. Kemudian pemerintah mengatakan atau pejabat mengatakan bahwa data itu tidak benar. Dengan mengeluarkan steatment data itu tidak benar ini, kritik bisa dipersoalkan,” tambahnya.
Menurut Chandra, tanpa ada RKUHP saja, dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 pasal 14 pasal 15 itu sudah cukup banyak aktivis yang dijerat dengan tuduhan menyebarkan berita bohong.
“Oleh karena itu norma-norma itu menjadi sangat berbahaya apalagi kalau dia menjadi delik formil. Jadi, alangkah banyaknya nanti penjara penuh dengan sipil-sipil yang menyampaikan kritik kebijakan,” tegasnya.
Chandra menilai, banyaknya pasal-pasal yang bermasalah dihidupkan kembali karena banyak orang ingin berkuasa tapi tidak siap dikritik, sehingga agar tidak dikritik dikeluarkan norma-norma seperti ini.
“Kalau masyarakat menyebut ini gejala otoriter itu wajar. Kalau saya menyebutnya otoriter konstitusional. Menindak masyarakat atas nama undang-undang. Ini preman berjubah pasal, berjubah undang-undang,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun