Mediaumat.id – Mengomentari kontroversi pengesahan RKUHP, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. mengatakan, spirit pengesahan RKUHP hendaknya bukan sekadar mengganti undang-undang kolonial.
“Dalam konteks pembuatan undang-undang, saya kira sudah tidak diragukan lagi bahwa kita ini sangat mampu untuk menyusun atau membuat sebuah undang-undang. Tetapi, yang menjadi spiritnya adalah bukan sekadar mengganti undang-undang kolonial,” tuturnya dalam Kabar Petang: KUHP Baru Menjadi Alat Represi? di kanal YouTube Khilafah News, Kamis (8/12/2022).
Menurutnya, sangat penting menyusun dan mengesahkan UU yang tidak menjerat kebebasan-kebebasan sipil masyarakat. “Kalau (UU) itu menjerat kebebasan sipil, apa bedanya dengan undang-undang kolonial? Ini yang perlu digarisbawahi dalam undang-undang ini,” tegasnya.
Chandra mengungkapkan, di dalam KUHP yang baru, ada potensi jeratan terhadap sipil yang sangat besar. Sebagai contoh, demonstrasi yang tidak mendapatkan surat izin, maka akan dipidana.
“KUHP baru ini, memindahkan ranah pemberitahuan menjadi ranah izin. Ranah hak menjadi izin. Padahal, izin adalah untuk sesuatu yang sudah dilarang. Dengan adanya izin, maka menjadi boleh. Pertanyaannya, demonstrasi itu apakah dilarang ataukah dibolehkan?” tanya Chandra.
Menurutnya, logika seperti itu harus dibangun. Jika demontrasi merupakan hak sipil, maka tidak perlu izin. “Hak itu tidak perlu izin untuk mendapatkannya, tapi cukup dengan pemberitahuan,” imbuhnya.
Selain itu, Chandra menemukan sejumlah pasal yang multitafsir. Termasuk pasal yang berkaitan dengan suatu paham yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.
“Siapa yang berhak menafsirkan itu? Kalau pemerintah yang menafsirkannya, dalam hal ini kepolisian, saya kira salah. Kenapa? Karena dalam teori hukum pidana, sesuatu yang tidak ditulis bentuk pelanggarannya, tidak dapat dipidana,” sambung Chandra.
Chandra menilai, jika pasal-pasal dalam KUHP yang baru ini multitafsir, maka merupakan kemunduran dalam pembuatan regulasi. “Mestinya, pidana itu tidak boleh multitafsir. Kalau multitafsir, bahaya itu,” tandasnya.
Meskipun, KUHP baru berlaku tiga tahun lagi setelah disahkan, ditemukan sejumlah pasal bermasalah dan mengekang hak sipil. Oleh karena itu, Chandra memberi solusi untuk melakukan judicial review KUHP.
“LBH Pelita Umat akan melakukan judicial review. Tapi bisa dilakukan nanti tiga tahun lagi setelah didapat nomor undang-undangnya. Kalau sekarang dilakukan judicial review, saya kira tidak tepat. Karena, belum ada penomoran undang-undang,” pungkas Chandra.[] Ikhty