Mediaumat.id – Sejumlah ketentuan hukum dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang disinyalir bakal mengancam kebebasan pers di Indonesia, sebaiknya dihapus saja.
“Dihapus lebih baik, toh sudah ada Undang-Undang Pers,” tutur Sekjen LBH Pelita Umat Panca Putra Kurniawan kepada Mediaumat.id, Kamis (21/7/2022).
“Apa iya kalau ini diteruskan, pers bisa dikecualikan? Apa jaminannya kan?” bimbangnya.
Sebelumnya seperti diwartakan, draf terkait pasal yang disinyalir akan memberangus kebebasan pers dimaksud telah beredar di internet. Pasalnya, sejak diserahkan pada 4 Juli yang lalu ke DPR RI, belum ada pihak lain yang menerima draf resmi RKUHP dari pemerintah termasuk Dewan Pers sendiri.
Adalah Ninik Rahayu, Ketua Komisi Pendataan, Kajian, dan Ratifikasi Pers menyebutkan, terdapat sembilan pasal yang berpeluang menghilangkan kebebasan pers sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Padahal UU Pers yang mengandung 10 bab dan 21 pasal tersebut berisi aturan dan ketentuan tentang pembredelan, penyensoran, asas, fungsi, hak dan kewajiban perusahaan pers, hak-hak wartawan, juga tentang Dewan Pers.
Padahal pula, pasal-pasal di dalam draf RKUHP yang ia nilai akan mengancam kebebasan pers itu telah dikritisi Dewan Pers pada pembahasan RKUHP sebelumnya, namun masih ada dalam draf final terbaru RKUHP.
Lantaran itu, Panca turut mendorong Dewan Pers yang mewadahi dan mewakili kawan-kawan pers dalam rangka menyampaikan catatan potensi di RKUHP itu ke DPR/pemerintah.
“Tentu pers yang bebas, jujur dan bertanggung jawab harus didukung,” tegasnya.
“Sekian tahun pers dibungkam, reformasi membuka jalan, keliru kalau pers dikebiri lagi, mundur jadinya,” sebutnya menambahkan.
Maka itu kalau memang diperlukan, merevisi ketentuan suatu hukum dalam hal ini RKUHP, sejatinya perlu juga menyinkronkan dengan UU Pers yang telah ada. Bahkan menurut Panca, hal itu adalah lex specialis-nya.
“Kalau saling bertentangan, kan repot juga. Apalagi digunakan secara legisme, saklek bunyi pasalnya saja untuk menjerat, sepertinya ini (setidaknya) harus diubah,” tuturnya.
Wajar Kritis
Terlebih, poin di pasal-pasal RKUHP yang disoroti Dewan Pers kalau dipelajari memang membuka potensi tersebut. Sehingga wajar kalau lembaga independen yang berperan besar dalam mewartakan agenda ataupun memberikan kritik kebijakan pemerintah itu kritis.
“Kalau sudah ketok palu, realitanya bisa berbeda,” timpal Panca.
Oleh karena itu, perlu kehati-hatian dalam upaya memperbaiki suatu ketentuan perundang-undangan. Apalagi DPR sebagai perwakilan masyarakat luas, semestinya juga membuka akses publik selebar-lebarnya.
Substansi pidananya pun harus jelas dan berpihak pada kebenaran materiil. “Yang mau diatur ini kan bagaimana menghukum kriminal, bukan mengada-adakan delik karena kepentingan tertentu,” pungkasnya.[] Zainul Krian