Mediaumat.news – Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan mengecam pasal yang dipakai untuk menjerat HRS dengan vonis 4 tahun penjara.
“Pasal tersebut merupakan pasal karet, tidak memuat definisi pasti yang ketat. Hukum pidana seharusnya bersifat lex stricta, yaitu bahwa hukum tertulis tadi harus dimaknai secara rigid, tidak boleh diperluas atau multitafsir pemaknaannya,” tegasnya kepada Mediaumat.news, Kamis (24/6/2021).
Pasal karet dimaksud Chandra adalah “berita atau pemberitahuan bohong” dan “keonaran di kalangan rakyat”. “Semestinya harus didefinisikan secara konkret dan memiliki batasan yang jelas Apabila tidak maka dikhawatirkan bersifat karet/lentur, tidak bisa diukur, dan penerapannya dikhawatirkan berpotensi sewenang-wenang dalam menafsirkan,” tegasnya.
Terkait “Bohong”
Lalu, pernyataan tentang kondisi kesehatan Habib Rizieq Syihab yang menyatakan dalam keadaan sudah pulih atau sehat bukan merupakan perbuatan tercela dan oleh karenanya tidak ada perbuatan melawan hukum.
Chandra juga menyebut, penilaian atas kesehatan diri sendiri adalah penilaian yang wajar sebagaimana penilaian pada umumnya seseorang yang merasakan sudah pulih dari rasa sakitnya. Dengan mengacu pada asas ‘cogitationis poenam nemo patitur’ (tidak seorang pun dipidana atas yang ada dalam pikirannya). “Maka pernyataan sehat Habib Rizieq Syihab bukanlah delik,” tegas Chandra.
Chandra juga menjelaskan frasa dalam pasal tersebut berpotensi menjadikan kesewenangan penegak hukum melaksanakan hukum karena kondisi tertentu, seperti contoh dalam kasus vonis HRS.
Terkait “Keonaran”
Menurt Chandra, frasa ‘keonaran di kalangan rakyat’ pun hingga saat ini tidak ada definisi dan batasan yang jelas. Apakah ‘keonaran di kalangan rakyat’ memiliki makna yang sama dengan ‘populer’, ‘viral’, ‘ramai diperbincangkan’, ‘terjadi pro kontra yang sebatas adu argumentasi’, ‘benturan fisik’, ‘kekacauan’, atau pun ‘kerusuhan’?
“Tidak ada batasan ‘keonaran di kalangan rakyat’, dikhawatirkan dan berpotensi menjadikan aparat penegak hukum dapat dengan secara subjektif dan sewenang-wenang menentukan status suatu kondisi ‘keonaran di kalangan rakyat’,” ungkapnya.
Sebelumnya, dikabarkan HRS divonis 4 tahun penjara dengan tuduhan berbohong, dijerat Pasal 14 ayat (1) UU No.1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana. Yang berbunyi Pasal 14 Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dengan isi pasal sebagai berikut: (1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.[] Fatih Solahuddin