Mediaumat.id – Tentang sikap pemerintah yang terkesan tak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka), Sekjen LBH Pelita Umat Panca Putra Kurniawan memandang, seharusnya regulasi tersebut dibatalkan saja, bukan malah diberi waktu untuk diperbaiki.
“Harusnya dibatalkan saja, bukan diberi waktu diperbaiki,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Senin (6/6/2022).
Pasalnya, sebagai perangkat peraturan yang dianggap pemerintah sebagai undang-undang sapu jagat, karena bersentuhan dengan berbagai macam topik dan dimaksudkan untuk mengamandemen, memangkas dan/atau mencabut sejumlah undang-undang lain, menurut Panca, jelas sangat bermasalah.
Sebutlah proses penyusunan yang disinyalir berjarak dengan publik atau hanya melibatkan elite. Artinya, ketiadaan partisipasi dan transparansi harus dibayar mahal dengan banyaknya aksi penolakan RUU yang berlangsung masif dan sarat upaya pembungkaman oleh negara.
Sebagaimana diketahui, Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, secara tegas melarang Pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana dari UU Cilaka yang baru sampai dilakukannya perbaikan.
Namun alih-alih menjalankan amar putusan pengadilan, pemerintah malah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah yang ditandatangani pada 27 Desember 2021.
Pun, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2022 tentang Forum Koordinasi Pimpinan di Daerah yang ditetapkan pada 25 Februari 2022.
Bahkan revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) yang menurut Panca, akan dijadikan sandaran Omnibuslaw, telah disahkan oleh DPR RI dalam sidang paripurna pada Selasa 24 Mei 2022.
“Adanya PP dan aturan lain yang keluar setelah Putusan MK ini seharusnya secara hukum sudah melanggar,” tegasnya, seraya menyebut pemerintah juga telah memandang sebelah mata terhadap putusan MK tersebut.
Idealnya, sambung Panca, tentu MK harus sangat berwibawa. Tetapi dengan sikap pemerintah tersebut, lagi-lagi publik bisa melihat dan menilai sendiri realitasnya seperti apa.
Padahal di sisi lain, setiap putusan pengadilan, tambah Panca, sejatinya harus ada eksekutor yang legitimate atau sah.
Maknanya, menjadi masalah apabila eksekusi putusan hanya diletakkan pada kesadaran pihak-pihak, sehingga sebuah putusan cenderung hanya menjadi macan ompong. “Di sini pemerintah harus memberi contoh,” timpalnya.
“Kondisi ini sangat mungkin karena kekuatan politik formal tidak berfungsi efektif sebagaimana harusnya mengontrol dan mengoreksi pemerintah, berpihak pada rakyat,” pungkasnya.[] Zainul Krian