LBH Pelita Umat: Harusnya Pemerintah Terbitkan Sertifikat Tanah Atas Nama Warga Rempang

Mediaumat.id – Terkait legalitas kepemilikan suatu lahan di Tanah Rempang, Batam, Kepulauan Riau, sebenarnya pemerintah wajib mengeluarkan sertifikat tanah atas nama masyarakat adat di sana.

“Sebetulnya pemerintah itu wajib mengeluarkan sertifikat tanah atas mereka (masyarakat adat Rempang),” ujar Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat Chandra Purna Irawan, dalam Catatan Peradaban: Rempang Membara: Ada Apa? di kanal YouTube Peradaban Islam ID, Kamis (14/9/2023).

Pasalnya, sebagaimana termaktub di Peraturan Pemerintah (PP) 24/1997 Pasal 24 ayat (2) misalnya, seseorang yang menguasai fisik tanah selama kurun waktu 20 tahun secara terus-menerus maka berpotensi menjadi pemilik tanah dimaksud.

Dan tentu saja, ketentuan itu berlanjut ke bentuk sertifikat hak milik (SHM), seperti halnya juga diatur di pasal tersebut sebagai pemegang hak atas tanah.

Untuk diketahui, ungkapan ini ia sampaikan sebagai respons atas pernyataan dari pejabat negara yang mengatakan bahwa masyarakat yang tinggal di Pulau Rempang, tak memiliki legalitas berupa sertifikat tanah. “Itu pernyataan yang keliru,” tegasnya, tanpa mengungkap siapa pejabat dimaksud.

Sementara, masyarakat adat termasuk di 16 Kampung Melayu Tua di Rempang Galang, Kepulauan Riau, yang terancam tergusur pembangunan proyek strategis nasional bernama Rempang Eco City, telah menempati kawasan jauh sebelum republik ini berdiri.

“Mereka sudah hidup ratusan tahun, lama di situ turun-temurun, ya, berarti jauh republik ini, sebelum ada mereka sudah ada,” tegasnya.

Bahkan Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang dan Galang, Gerisman Ahmad dalam beberapa kesempatan menegaskan, warga Rempang dan Galang terdiri dari Suku Melayu, Suku Orang Laut dan Suku Orang Darat, telah bermukim di pulau setidaknya lebih dari satu abad lalu.

“Kampung-kampung ini sudah ada sejak 1834, di bawah (kekuasaan) Kerajaan Riau Lingga,” kata Gerisman.

Sejak 1834, beber Gerisman, negara tidak pernah hadir untuk masyarakat adat Tempatan di Rempang. Mereka tidak kunjung mendapatkan legalitas tanah meskipun sudah diajukan.

Akan tetapi pada tahun 2023 atau 189 tahun kemudian, secara serta-merta pemerintah ingin merelokasi masyarakat adat setempat.

“Tiba-tiba sekarang kampung kami mau dibangun saja,” tandasnya.

Bahaya

Lantaran itu, para pemangku kebijakan yang ada di Jakarta mestinya memikirkan perihal berkaitan adat istiadat masyarakat setempat. “Jangan atas dasar investasi kemudian merugikan masyarakat,” imbau Chandra.

Sebab, menurutnya, apabila tetap menerapkan pola penggusuran seperti itu, ditambah pada saat yang sama terjadi bentrokan antara masyarakat dan aparat gabungan TNI-Polri beberapa hari lalu, pemerintah dinilainya tak berbeda dengan rezim penjajah Belanda.

Kala itu, ungkap Chandra, siapa saja yang tidak mempunyai hak eigendom (kepemilikan) maka tidak dapat diterbitkan sertifikat atas tanah yang ditempati.

“Itu yang disebut domein verklaring,” sebutnya, yang berarti semua bidang tanah adalah milik negara kecuali masyarakat bisa membuktikan semacam sertifikat kepemilikan.

“Ini yang kemudian bahaya, kalau domein verklaring dilakukan maka negara akan dengan mudah mengambil tanah,” imbuh Chandra.

Padahal, suatu negara, pungkasnya, wajib memberikan fasilitas kepada rakyatnya untuk sekadar mengurus sertifikat kepemilikan atas suatu bidang tanah.[] Zainul Krian

Share artikel ini: