Mediaumat.info – Mencakup kebebasan berpendapat dan berekspresi, berkumpul dan berserikat, serta mengakses dan berbagi informasi, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat Chandra Purna Irawan menyampaikan beberapa indikasi pelemahan terkait ruang kebebasan sipil tersebut.
“Terdapat beberapa indikasi pelemahan ruang kebebasan sipil,” ujarnya dalam keterangan tertulis, yang diterima media-umat.info, Selasa (4/6/2024).
Pertama, membiarkan terjadinya persekusi, intimidasi, represi dan pelanggaran kebebasan berekspresi kepada mereka yang dianggap berseberangan dengan kepentingan kekuasaan.
Padahal negara ini sering menyebut sebagai negara hukum tetapi asas due process of law tidak digunakan kepada orang yang dituduh tersebut. Terlebih terhadap sebuah organisasi dakwah yang damai dan cerdas, semisal Hizbut Tahrir Indonesia yang pada dasarnya bukanlah organisasi terlarang,
“HTI hanya dicabut status Badan Hukum Perkumpulan. Sementara tuduhan ormas terlarang adalah narasi politik dan narasi pecah belah,” jelasnya, seraya menyinggung bahwa perbedaan semestinya menjadi indah dan merekatkan bukan malah menjadi alasan persekusi.
Kedua, di dalam KUHP baru, terdapat ketentuan/pasal penghinaan kepada presiden/wakil presiden yang pelakunya diancam hukuman tiga tahun penjara.
Menurut Chandra, pasal ini dinilai akan membatasi penyampaian kritik kepada kepala negara. Apalagi istilah penghinaan itu bersifat subjektif.
Demikian juga dengan ancaman pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan dan mengganggu ketertiban masyarakat.
“Pasal tersebut memperlihatkan adanya kemunduran dalam berdemokrasi dan menempatkan kebebasan berpendapat pada posisi berisiko,” sambungnya.
Sebab, secara filosofis, kata Chandra menjelaskan, paradigma pemberitahuan ditujukan agar aksi atau demonstrasi dapat berlangsung lancar dan dijaga oleh kepolisian. Bukan sebaliknya, yakni pemberitahuan belakangan ini terkadang dijadikan mekanisme formal.
Selain itu, pasal penghasutan yang dianggap melawan penguasa umum, penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara, maupun pasal multi tafsir lainnya terkait tuduhan mengganti Pancasila dengan ancaman pidana penjara, juga dinilainya bersifat subjektif.
Ketiga, dalam hal UU ITE tak jarang memakan korban rakyat. Ia pun mencontohkan kasus Menteri Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang melaporkan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti atas dugaan pencemaran nama baik.
Keempat, pemerintah berencana akan membentuk Dewan Media Sosial (DMS) sebagai mediator sengketa di ruang digital. “Rencana pembentukan Dewan Media Sosial menuai kontroversi, karena dikhawatirkan tidak independen dan berpotensi menjadi alat membungkam kebebasan berpendapat,” kata Chandra.
Kelima, melalui RUU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang telah ditetapkan menjadi inisiatif DPR RI dalam rapat paripurna, Selasa (28/5/2024), kepolisian diusulkan bisa melakukan pemblokiran serta upaya pelambatan akses di ruang siber terhadap akses internet publik, dengan alasan demi keamanan dalam negeri.
“Revisi Undang-Undang Polri berpotensi dikhawatirkan memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak untuk memperoleh informasi, serta hak warga negara atas privasi terutama yang dinikmati di media sosial dan ruang digital,” pungkasnya. [] Zainul Krian