Mediaumat.news – Aktivis Islam Alimuddin Baharsyah dituntut dengan Pasal 14 ayat (1) UU No.1 tahun 1946 oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara yang kedua setelah perkara yang pertama “Cina kafir” divonis beberapa bulan lalu.
“Pasal tersebut bersifat karet, lentur dan tidak memuat definisi pasti yang ketat,” ujar Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan kepada Mediaumat.news, Rabu (17/2/2021).
Pasal tersebut, lanjut Chandra berbunyi, “Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.”
“Apa yang dimaksud ‘berita atau pemberitahuan bohong’ dan ‘keonaran di kalangan rakyat’?” tanyanya.
Menurut Chandra, semestinya harus didefinisikan secara konkret dan memiliki batasan yang jelas. Apabila tidak maka dikhawatirkan bersifat karet/lentur, tidak bisa diukur, dan penerapannya dikhawatirkan berpotensi sewenang-wenang dalam menafsirkan.
“Hukum pidana mesti bersifat lex stricta, yaitu bahwa hukum tertulis tadi harus dimaknai secara rigid, tidak boleh diperluas atau multitafsir pemaknaannya,” tegas Chandra.
Chandra mengingatkan, selain tidak ada definisi yang jelas terkait apa yang disebut sebagai “berita atau pemberitahuan bohong”, hingga kini tidak ada peraturan perundang-undangan yang memberikan batasan dan mendefinisikan apa yang dimaksud “berita atau pemberitahuan bohong” dan “keonaran di kalangan rakyat”.
Selain itu, Chandra menyebutkan, sampai sekarang pun belum ada standarisasi terhadap apa yang dimaksud sebagai “berita benar” dengan “berita bohong” atau pun peraturan perundang-undangan bagaimana memvalidasi “berita atau pemberitahuan bohong”.
Menurutnya, frasa “keonaran di kalangan rakyat“ pun hingga saat ini tidak ada defenisi dan batasan yang jelas. “Apakah ‘keonaran di kalangan rakyat’ memiliki makna yang sama dengan ‘populer’, ‘viral’, ‘ramai diperbincangkan’, ‘terjadi pro kontra yang sebatas adu argumentasi’, ‘benturan fisik’, ‘kekacauan’, atau pun ‘kerusuhan’?” tanya Chandra.
Ia menyebutkan, tidak ada batasan “keonaran di kalangan rakyat”, dikhawatirkan dan berpotensi menjadikan aparat penegak hukum dapat dengan secara subjektif dan sewenang-wenang menentukan status suatu kondisi “keonaran di kalangan rakyat”.
Duduk Persoalan
Pada Selasa (16/2/2021) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, JPU memperkarakan dengan tuduhan haoks (berita bohong) lantaran Ali dalam vlog-nya yang viral awal April 2020 menyatakan “……Ini lagi ada virus darurat kesehatan, koq yang diterapin malah kebijakan darurat sipil….”
Ali mengaku menyatakan itu lantaran Presiden menyatakan, “Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing, dilakukan lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih efektif lagi. Sehingga, tadi sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil.”
Sedangkan menurut Chandra, itu bukan hoaks karena kata “didampingi” memiliki maksud yang sama dengan kata “diterapin” atau diterapkan. Sebagai contoh, “Saya menyopir mobil didampingi istri”. “Kata ‘didampingi’ menunjukkan bahwa istri ikut serta dalam mobil,” beber Chandra.
Ia menilai konteks kalimat utuh, “Didampingi adanya kebijakan Darurat Sipil” dan “Diterapin kebijakan darurat sipil” memiliki medan makna yang sama. “Keduanya bermakna (subjek/PSBB) perlu dipraktikkan/ditemani/disertai dengan kebijakan darurat sipil,” pungkasnya. [] Joko Prasetyo