Layakkah Khutbah Seru Ajaran Islam Khilafah Dikriminalisasi?

 Layakkah Khutbah Seru Ajaran Islam Khilafah Dikriminalisasi?

Oleh: Abu Abdullah

Sejak penghapusan Khilafah, Umat telah menyaksikan suksesi penguasa despotik yang fokus utamanya adalah untuk menyenangkan Negara-negara adidaya kapitalis. Ketundukan ini telah mengakibatkan kesulitan besar bagi umat. Sebagai contoh: kemiskinan, korupsi, dan perang. Kontras kenyataan saat ini dengan masa lalu, ketika Islam diimplementasikan.

Pemerintah di negeri-negeri sekuler dan media mereka memfitnah kesempurnaan syariah Islam dan menggambarkan seruan kepada Khilafah sebagai kriminal dan sebagai aspirasi para radikalis. Ini karena mereka tahu itu menantang dominasi politik, ekonomi dan militer mereka dari dunia Muslim. Khutbah diawasi, seruan terbuka kepada ajaran Islam al khilafah rosyidah dilarang dan bisa dikriminalisasi. Mengkriminalisasi ajaran Khilafah Islamiyah sama saja mengkriminalkan Islam.

Dalil

Hukum mendirikan Negara Khilafah adalah fardhu kifâyah (wajib secara kolektif), dan sudah menjadi sesuatu yang ma’lûm min ad-dîn bi adh-dharûrah di kalangan umat Islam dari genarasi ke generasi. Tercatat dalam sejarah, hanya beberapa pihak saja yang tidak mengakui kewajiban tersebut, itupun dari ‘kalompok sempalan’ atau pihak yang tidak diperhitungkan pendapatnya.

Kewajiban khilafah berdiri kokoh di atas nash-nash baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, ditambah Ijma’ Sahabat. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa khilafah tidak wajib dan tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah adalah pendapat yang keliru, menyelisihi pemahaman para sahabat ra para ‘ulama dari masa ke masa.

Imam Al-Qal’i Asy-Syafi’i dalam kitabnya Tahdzîb Ar-Riyâsah wa Tartîb As-Siyâsah menuliskan:
Segenap umat islam bersepakat -kecuali siapa-siapa yang tidak diperhitungkan pendapatnya- atas wajibnya mengangkat seorang Imam secara mutlak, sekalipun mereka berbeda pendapat dalam sifat-sifat dan syarat-syaratnya.

Imam As-Sinqithi dalam kitab tafsirnya juga berkata:
Sudah jelas dan maklum dalam agama bahwa kaum muslimin diwajibkan untuk mengangkat seorang imam yang menyatukan suara mereka dan dengannya diterapkan hukum-hukum Allah swt di muka bumi. Tidak ada yang menyelisihi pendapat ini melainkan mereka yang tidak diperhitungkan suaranya, seperti Abu Bakar Al-Ashamm seorang mu’tazilah, sebagaimana dikatakan sebelumnya oleh Al-Qurthubi, juga seperti Dhirar, Hisyam Al-Futhi, dan sebagainya.

Demikian pula Imam Asy-Syaukani dalam karyanya Nail Al-Authâr juga berkata:

Mayoritas ulama berpendapat bahwa Imamah adalah wajib, sedangkan menurut Dhirâr, Al-Ashamm, Hisyam Al-Futhi, dan An-Najdat, hal tersebut tidak wajib.

Kewajiban tersebut dibangun berdasarkan dalil-dalil Syara’, bukan berdasarkan logika. Hujjatul-Islâm Imam Al-Ghazali berkata:

Penjelasan tentang wajibnya mengangkat seorang imam. Jangan sampai anda mengira bahwa kewajiban tersebut berdasarkan akal, sesungguhnya kami telah menjelaskan bahwa kewajiban tersebut diambil dari (nash) syara’.

Demikian pula Imam An-Nawawi dalam kitab Syarahnya atas Shahih Muslim menyebutkan:

Dan para ulama bersepakat bahwa kaum muslimin wajib mengangkat seorang khalifah, kewajiban tersebut berdasarkan syara’ bukan akal.

Tidak ketinggalan Asy-Syinqithi juga mengatakan dalam kitab tafsirnya:

Dan pendapat mayoritas ulama bahwa kewajiban Imamah yang agung (khilafah) dari jalan syara’, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat-ayat terdahulu dan yang sejenisnya, serta ijma’ sahabat radhiyallahu ‘anhum. Dan juga karena dengan kekuasaanlah Allah swt mencegah sesuatu yang tidak bisa dicegah dengan Al-Qur’an.

Tepat pasca wafatnya Nabi Muhammad saw, para sahabat segera mengangkat pengganti Beliau (dalam kapasitasnya sebagai Pemimpin kaum Muslimin, bukan sebagai Rasul Allah SWT), yaitu dengan membai’at Abu Bakar Ash-Shiddiq, hal itu mereka lakukan sebelum mengurus jenazah Nabi Muhammad saw tanpa ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Ini menandakan bahwa kewajiban tersebut lebih utama dari pada kewajiban memakamkan jenazah, betapapun itu adalah jenazah Rasulullah saw. Imam Al-Khathabi dalam kitab Tharh At-Tatsrîb karya Al-‘Iraqi mengatakan:

Oleh karenanya anda saksikan para sahabat di hari wafatnya Rasulullah saw tidak melakukan suatu apapun berkenaan dengan pemakaman, dan penyelenggaraan jenazah Beliau, sampai mereka selesaikan perkara bai’at dan mengangkat Abu Bakar ra, dan mereka sebut sebagai Khalifah (pengganti) Rasulullah saw., menandakan bahwa apa yang mereka perbuat itu datang dari Beliau dan disandarkan kepada Beliau. Dan itu merupakan dalil yang sangat jelas yang menunjukkan kewajiban Khilafah, dan bahwa umat Islam harus memiliki seorang Imam yang mengurusi urusan mereka, menerapkan hukum-hukum Allah swt di tengah-tengah mereka, mencegah mereka dari keburukan, kedzaliman, dan kerusakan.

Khatimah

Perjuangan untuk menolak rezim yang anti Islam dan syari’ah di berbagai penjuru dunia terlihat dalam kriminalisasi terhadap para pengemban dakwah. Banyak lagi upaya memata-matai dan melecehkan para pengembannya oleh aparat pemerintahan karena berani memprotes otoritas para tiran. penolakan Umat Islam yang dipimpin para ulama dalam berpegang pada Islamnya telah memberi inspirasi; masyarakat makin berani berbicara menentang kedholiman para diktator sampai membuat penguasa panik. Kaum muslimin memiliki kerinduan pada tegaknya Islam, setelah bertahun-tahun Komunisme memimpin dan sekarang era diktatorisme rezim kapitalis.

Walhasil, kita sebagai Muslim yang tinggal di Indonesia memiliki kewajiban untuk menantang kebohongan yang ditujukan kepada Islam kepada sistem pemerintahannya, kepada syariah Islam dan kepada para penyerunya. Kita memiliki kewajiban untuk menyampaikan kepada umat – yang mempertanyakan solusi bagi Indonesia sekarang – sebuah alternatif dengan menunjukkan kepada mereka bagaimana Aqidah Islam meyakinkan pikiran, sesuai dengan fitrah manusia dan memiliki kapasitas untuk mengatasi masalah kemanusiaan.[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *