Oleh: Ilham Efendi (Direktur RIC)
Sehubungan dengan ajang Latihan Gabungan TNI AD dan tentara Amerika Serikat (US Army) pada bulan Agustus 2021, ajang ini dianggap menjadi salah satu bentuk konkret diplomasi pertahanan.
AS memang amat berkepentingan untuk mengamankan pengaruh politik dan militernya di kawasan Asia Pasifik. Professor Ann Marie Murphy, peneliti senior di Weatherhead East Asia Institute, Columbia University, pernah mengatakan bahwa hingga 2020 nanti 60 persen kekuatan Angkatan Laut akan diturunkan di Asia. Sebanyak 500 tentara angkatan laut AS akan tugas bergilir di Darwin, totalnya akan berjumlah 2.500 tentara. Apa tujuannya?
Pertama, AS ingin membendung pengaruh RRC di Asia Tenggara khususnya dalam persoalan Laut Cina Selatan. Wilayah ini amat strategis bagi AS maupun RRC, baik sebagai jalur perdagangan maupun sumberdaya alamnya yang berlimpah. Oleh karena itu AS terus menjalin hubungan dengan sekutu-sekutunya, termasuk Indonesia, untuk mengeliminir pengaruh Cina.
Kedua, AS juga berkepentingan untuk menjaga kepentingan mereka di kawasan Papua. Keberadaan pertambangan Freeport sebagai perusahaan tambang besar di dunia adalah nilai strategis bagi AS. Hal ini tampak dari pendekatan yang dilakukan AS kepada dua pihak; kepada kelompok separatis-teroris OPM dan juga kepada aparat pemerintah daerah Papua.
Dahulu sempat santer diberitakan bahwa US House of Representatives, telah mengagendakan agar DPR Amerika tersebut mengeluarkan rancangan FOREIGN RELATION AUTHORIZATION ACT (FRAA) yang secara spesifik memuat referensi khusus mengenai Papua.
Kalau RUU FRAA ini lolos di kongres Amerika, maka Amerika akan menindaklanjuti UU FRAA ini melalui serangkaian operasi politik dan diplomasi yang target akhirnya adalah meyakinkan pihak Indonesia untuk melepaskan, atau setidaknya mengkondisikan adanya otonomi khusus bagi Papua, untuk selanjutnya memberi kesempatan kepada warga Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.
AS mungkin ke depan akan intens mendekati pejabat daerah Papua. Akan tetapi pemerintah kenyataannya bergeming dengan atraksi kekuatan AS di Darwin dan rencana politik mereka terhadap Papua. Presiden Jokowu sama sekali tidak menampakkan reaksi khawatir. Padahal latihan gabungan militer di Indonesia seharusnya sudah mengusik ketenangan. Apalagi pada tahun – tahun ini Pentagon telah mengkonsentrasikan 60 persen angkatan lautnya ke kawasan Asia, terutama Darwin dan Subik di Filipina. Aneh, bila seorang kepala negara merasa tidak terancam dan terusik dengan aktivitas politik dan militer negara asing di dekat rumahnya sendiri.
Kita pertanyakan, ke mana slogan NKRI harga mati? Apakah hanya digunakan untuk menggertak kelompok Islam, tapi bukan untuk menyelamatkan keutuhan negeri?[]