Mediaumat.news – Terkait Surat Edaran Komisi Penyiaran Indonesia (SE KPI) yang melarang stasiun TV di Indonesia mengundang atau memberi kesempatan dakwah kepada eks anggota FPI dan HTI, Pakar Hukum Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menyatakan KPI telah menjadi corong ketidakadilan (unfairness) pemerintah dan melampaui kewenangannya.
“Ternyata KPI patut diduga benar-benar sudah menjadi corong tindakan pemerintah yang saya nilai unfairness. Apa salahnya eks anggota FPI dan HTI sehingga mereka tidak boleh berdakwah di media TV? Apa ada yang salah tentang ajaran Islam yang didakwahkan?” ujarnya kepada Mediaumat.news, Sabtu (27/3/2021).
Terkait frasa organisasi terlarang, kendati tidak disebutkan secara detail dalam surat edaran tersebut, Komisioner KPI Irsal Ambia membenarkan FPI dan HTI masuk dalam ketentuan tersebut saat CNN Indonesia mengonfirmasi pada Senin (22/3/2021).
Ia mempertanyakan, apa sebenarnya agenda tersembunyi KPI dan pemerintah terhadap umat Islam. Mengapa anggota kedua organisasi ini disamakan dengan eks angota PKI. Sementara UU Pemilu yang dikoreksi oleh MK pun memberikan kesempatan eks anggota PKI dan keturunannya untuk tetap memiliki hak politik baik untuk memilih dan dipilih. Lalu kenapa eks anggota FPI dan HTI untuk berdakwah saja dibatasi bahkan dilarang.
Prof. Suteki mengatakan, KPI seharusnya tidak menjadi corong pemerintah, tetapi menjadi lembaga independen dalam memantau konten siaran bukan soal siapa yang menyebarkan konten siaran, kecuali kalau memang organisasi pendakwah itu dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan ada larangan terhadap semua eks anggotanya untuk berdakwah di seluruh wilayah NKRI. Hingga sekarang tidak ada putusan dan keputusan hukum mana pun yang memuat larangan eks anggota FPI dan HTI untuk berdakwah dengan media apa pun.
“Jadi, atas SE KPI ini kita bisa menilai bahwa KPI telah melampaui kewenangannya dan oleh karenanya dapat dikatakan offside serta berpotensi menjadi corong rezim untuk memberangus pihak-pihak yang dinilai ‘radikal’, ekstremis dan berseberangan dengan rezim penguasa,” pungkasnya.[] Agung Sumartono