Mediaumat.id – Rilis kebijakan atau peraturan baru terkait Ramadhan yang mencakup larangan menyiarkan atau mengunggah foto dan video tentang shalat ke media, oleh Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Muhammad bin Salman (MbS), menunjukkan negeri itu makin liberal.
“Aturan ini makin menguatkan anggapan bahwa di bawah Muhammad bin Salman, arah dan nuansa kebijakan makin bergerak ke arah liberal,” tegas Pengamat Politik Islam Dr. Riyan, M.Ag. kepada Mediaumat.id, Rabu (15/3/2023).
Bagaimana tidak, ibadah di bulan suci Ramadhan saja diperlakukan sedemikian rupa. Sementara kehidupan di ruang publik, kata Riyan mengungkapkan, makin bebas dan jauh dari bimbingan syariat.
Menurutnya, kebijakan ini akibat pengaruh dominan dari Amerika Serikat (AS) berikut cengkeraman yang makin kuat atas perekonomian Arab Saudi. “Kebijakan liberal diktator ini akibat pengaruh dominan Amerika Serikat yang sekuler kapitalistik ke dalam kebijakan Arab Saudi,” sebutnya.
Menjadi mafhum, setelah ditemukannya minyak bumi, ungkapnya Riyan, perusahaan dan pemerintah AS berupaya dan semakin mencengkram perekonomian Arab Saudi. Celakanya, Arab Saudi sendiri menggantungkan persenjataan dari sana.
Dukungan terhadap Arab Saudi di era MbS makin tampak, ketika AS mendiamkan kasus pembantaian Wartawan Kashogi. “Pembelaan Amerika terkait dengan pembantaian Wartawan Kashogi menjadi indikasi kuat Amerika tutup mata dengan apa yang dilakukan MbS dalam melanggengkan kekuasaannya,” ulasnya.
Pun demikian dengan kasus penangkapan dan vonis terhadap ulama-ulama yang bersikap kritis kepada rezim Arab Saudi.
Memprihatinkan
Lantaran itu, peraturan baru berkenaan dengan Ramadhan yang dibuat MbS, menurut Riyan, sangat memprihatinkan. “Bulan Ramadhan seharusnya menjadi momen dan syiar yang mendorong umat Islam melaksanakan ibadah khususnya shaum dan tarawih dengan lebih maksimal,” urainya.
Maka ia pun menyebut, peraturan baru ini makin menguatkan dugaan terdapat agenda yang tersembunyi dari MbS terhadap kehidupan beragama di Arab Saudi. “Ada hidden agenda (agenda tersembunyi) dari MbS terhadap kehidupan beragama di Arab Saudi,” ujarnya.
Hal ini diperkuat dengan tidak adanya kewajiban berkerudung bagi Muslimah di tempat umum, munculnya pantai ‘bikini’, pembukaan kasino, pesta serta karnaval Halloween, konser penyanyi Barat, dsb.
Karenanya sebagai seorang Muslim, tutur Riyan, harus menggunakan perspektif dan standar syariat dalam menilai berbagai kebijakan publik termasuk di Arab Saudi belakangan ini.
Pasalnya, syariat telah mengajarkan kepada manusia agar masuk Islam secara kaffah. “Bukan malah mempreteli pelaksanaan syariah yang harusnya ditingkatkan,” sindirnya lagi, atas rencana MbS tentang larangan menyiarkan shalat.
Kebijakan yang menurut Riyan terkategori liberal bahkan bertentangan dengan syariat Islam ini, juga menunjukkan bahwa klaim Arab Saudi sebagai negara berdasarkan Islam justru terbantahkan.
Selebihnya, kepada para ulama dan tokoh Muslim khususnya di sana harus senantiasa melakukan kritik yang tentunya dengan semangat amar makruf nahi mungkar. “Jangan hanya diam apalagi malah bersikap mendukung terhadap kebijakan yang liberal diktator yang saat ini dijalankan MbS,” imbaunya.
Juga kepada seluruh umat Islam termasuk di Arab Saudi semestinya bersatu dan berjuang untuk tegaknya syariat Islam secara kaffah di bawah naungan khilafah ala minhajin nubuwah yang bermakna pemerintahan yang mengikuti jejak kenabian. “Bukan kerajaan atau demokrasi,” pungkasnya.[] Zainul Krian