Lagi, Pernyataan Jokowi Dinilai Lips Service

Mediaumat.id – Pernyataan Presiden Jokowi kali ini yang dinilai tak lebih dari sekadar lips service ketika ia menyampaikan keinginannya agar seluruh keragaman dan kekayaan alam di Indonesia tidak dieksploitasi berlebihan.

“Tidak adanya sinkronisasi antara statement Presiden Jokowi dengan policy yang selama ini dikeluarkan, atau bahasa kekiniannya, hanya sekedar lips service,” ujar Pakar Ekonomi sekaligus Anggota Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Indra Fajar, Ph.D. kepada Mediaumat.id, Senin (22/11/2021).

Diketahui, keinginan tersebut dinyatakan dalam Konferensi Nasional Geopark Indonesia II secara virtual, disaksikan di Jakarta, Senin 22 November 2021.

Meski dari perspektif komunikasi, pernyataan tersebut pantas diapresiasi, namun dari perspektif policy, Fajar melihat justru ada ketidakselarasan dengan kebijakan yang telah dikeluarkan Presiden Jokowi sejak menjabat dari periode pertama hingga saat ini.

“Ketidakselarasan yang saya maksud adalah, banyaknya policy yang tidak pro lingkungan dan lebih berpihak kepada eksploitasi keragaman dan kekayaan alam bangsa Indonesia yang lebih menguntungkan pihak swasta dan segelintir pemilik modal,” tuturnya.

Ia melihat, kebijakan-kebijakan pemerintah di era Jokowi sangat berfokus kepada investasi dan bisnis para kapitalis besar. Hal itu sebagaimana penegasan Menteri Luhut yang juga mengatakan geopark adalah magnet wisatawan. “Wajar jika banyak analis lingkungan yang (juga) meragukan komitmen rezim Presiden Jokowi terhadap lingkungan,” terangnya.

Begitu pula jika dikaitkan dengan pidato Presiden Jokowi di KTT PBB soal perubahan iklim (COP26) di Glasgow beberapa waktu lalu. “Kenyataannya, tren perusakan lingkungan untuk alasan eksploitasi ekonomi justru tumbuh subur dalam pemerintahan Presiden Jokowi,” ungkapnya.

Komoditi Bisnis

Fajar menyebut, pemahaman lingkungan berikut kekayaan alam dalam sistem ekonomi kapitalisme selama ini, memang dipandang sebagai komoditi bisnis saja. “Jauh dari idealisme penjagaan lingkungan dan perlindungan kekayaan alam bangsa Indonesia,” ujarnya.

Bahkan tambahnya, Prof. Timothy D. Taylor, di dalam cultural theory berjudul ‘Neoliberal Capitalism, UNESCO, and the Reenchantment of Culture‘, mengatakan, UNESCO adalah lembaga penjajahan kapitalisme mutakhir yang mengontrol dominasi negara-negara penjajah atas eksploitasi mereka terhadap negara-negara dunia ketiga.

Sama halnya dengan Peneliti dari Rusia Natalia Zamyatina di dalam artikel ilmiah berjudul ‘Exploitation of UNESCO World Heritage Objects in Tourism,’ yang menilai, program-program dan jaringan-jaringan cagar budaya tidak lebih sebagai komoditi untuk dieksploitasi para kapitalis.

“Kebanyakan cagar-cagar budaya itu justru jadi tempat para kapitalis membangun hotel-hotel dan resort-resort menjulang yang meminggirkan warga pribumi dari tempat tinggal mereka,” bebernya.

Hal itu, terangnya, terdapat kesamaan dengan apa yang terjadi di Indonesia. Misal, eksploitasi Pulau Komodo serta banyak lagi tempat yang menjadi ajang eksploitasi kapitalis berkedok pariwisata.

Sehingga ia memandang, rezim saat ini adalah rezim pemerintahan yang ramah ‘investasi’ dibandingkan dengan ramah lingkungan.

Pun, kata Fajar, tampak pula dari wawancara Presiden Jokowi dengan Editor Manajer Foreign Affair Jonathan Tepperman pada tahun 2014 silam. “Presiden sempat menyinggung kendala yang menghambat perusahaan multinasional (PMN) untuk berinvestasi di Indonesia. Sehingga diperlukan adanya inovasi kebijakan mempercepat dan mempermudah proses pengajuan izin usaha,” ungkapnya.

Pangkal Penyebab

Menurut Fajar, pangkal penyebab sebenarnya adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme. “Kebebasan eksploitasi para pemilik modal yang dilegalkan melalui produk-produk hukum pesanan melalui sistem demokrasi yang dirancang para makelar di parlemen, dimana hal ini melahirkan oligarki,” ungkapnya.

Ditambah dengan pengesahan UU No. 3/2020 tentang Pertambangan Minerba yang dinilainya sebagai produk hukum paling tragis mengenai eksploitasi kekayaan alam bangsa Indonesia yang lahir dari rezim pemerintahan Jokowi.

Contoh detail paling ekstrem, sambungnya, dalam hal ketentuan pidana terkait eksploitasi kekayaan alam, UU tersebut ternyata menghapus kejahatan korporasi yang melakukan pelanggaran pidana sebagaimana disebutkan dalam UU No. 4/2009.

“Di dalam UU Minerba 2020 ini, tindak pidana benar-benar hanya difokuskan pada individu atau perorangan,” ucapnya.

Dengan demikian, kata Fajar, sangat diperlukan kesadaran mendasar dari setiap elemen kunci perancang kebijakan-kebijakan publik di negeri ini, dalam membangun kembali bangsa ini berdasarkan pandangan hidup yang benar.

Tak hanya itu, kepekaan melihat masalah, kesadaran tentang tanggung jawab dan amanah, serta ketakutan terhadap balasan bagi mereka yang khianat dalam mengurusi urusan publik, juga amat diperlukan. “Hal-hal seperti ini tidak akan pernah muncul selama mempertahankan sistem yang ada hari ini,” pungkasnya.[]Zainul Krian

Share artikel ini: