Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Anwar Ibrahim melakukan kunjungan resmi pertamanya ke China selama tiga hari, mulai dari tanggal 29 Maret, sejak dilantik menjadi Perdana Menteri pada 24 November 2022. Hampir semua saluran dan portal berita pro-pemerintah memberitakan dan membesar-besarkan pencapaian kunjungan ini seolah-olah ini adalah kesuksesan terbesar bagi Malaysia. Tidak dapat dipungkiri bahwa propaganda ini sangat penting untuk memulihkan dan mempercantik citra Perdana Menteri ke-10 itu setelah kunjungannya ke Arab Saudi seminggu sebelumnya. Kunjungan tersebut dianggap gagal oleh pihak oposisi karena Anwar gagal bertemu dengan perdana menteri negara Arab tersebut.
Anwar terlihat sangat bangga ketika ia disambut dengan karpet merah di China dan dapat bertemu dengan Presiden dan Perdana Menteri Negeri Tembok Raksasa tersebut. Kunjungan perdana ini menjadi saksi bahwa Malaysia menerima komitmen investasi tertinggi dari China sebesar RM170 miliar – jumlah terbesar hingga saat ini. Hal tersebut merupakan hasil dari 19 Nota Kesepahaman (MoU) yang ditandatangani antara China dan Malaysia di berbagai bidang bisnis, terutama teknologi hijau dan ekonomi digital. Kedua belah pihak sepakat untuk meningkatkan hubungan perdagangan dan kerja sama ekonomi di bawah Belt and Road Initiative (BRI). Sejak tahun 2009, China telah menjadi mitra dagang terbesar Malaysia ketika pada tahun 2022, total perdagangan bilateral bernilai RM487,13 miliar (US$110,62 miliar).
Terlepas dari kebanggaan Anwar dalam menjembatani investasi sebesar itu, kenyataannya hal ini hanya akan memperkuat cengkeraman China terhadap ekonomi Malaysia, yang pada gilirannya akan mempengaruhi keputusan politik Malaysia ke arah yang menyenangkan China. Secara langsung atau tidak langsung, situasi ini sebenarnya telah memberikan jalan bagi China untuk mendominasi tidak hanya ekonomi Malaysia, tetapi juga politik dan hukum negara itu. Hal ini bertentangan dengan apa yang difirmankan oleh Allah (Swt),
[وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤمِنِينَ سَبِيلًا]
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk mengalahkan orang-orang mukmin.” (TQS An-Nisaa’: 141).
Sejauh ini, sebagai salah satu kekuatan besar dunia, China tampaknya tidak tertarik untuk melakukan penjajahan secara fisik. Namun, secara ekonomi telah berhasil “menjajah” banyak negara di dunia, termasuk beberapa negara di Eropa dan Timur Tengah. Hal ini tentu saja mengguncang hegemoni Amerika. Berhati-hati untuk tidak membuat Paman Sam gusar, Anwar dalam pidatonya di China menegaskan bahwa Malaysia akan selalu menjaga hubungan baik dengan Amerika. Terlepas dari kewajiban ilahi untuk memutuskan hubungan dengan negara-negara kafir yang memusuhi Islam, sangat disayangkan bahwa Anwar memutuskan untuk tetap menjalin hubungan baik dengan negara-negara tersebut, yang membuatnya tidak berbeda dengan para pemimpin Malaysia sebelumnya.
Kemunafikan China begitu terang-terangan sehingga dalam pertemuan tersebut, Xi Jinping menyatakan keprihatinannya terhadap situasi di Myanmar dan menyuarakan bahwa China mendukung upaya-upaya yang dipimpin oleh ASEAN dalam menangani situasi di Myanmar, termasuk upaya penyelesaian masalah Rohingya. Di negaranya sendiri, ia telah melakukan penyiksaan yang tidak manusiawi terhadap kaum Muslim Uighur dan tiba-tiba menunjukkan kepeduliannya terhadap Muslim Rohingya? Apakah Anwar tidak melihat kemunafikan China, atau apakah dia tidak tahu tentang kekejaman China terhadap Muslim di Turkistan Timur, atau apakah dia hanya menutup mata terhadap masalah ini demi imbalan duniawi yang dia cari dari China?
Memang, tidak ada perbandingan antara Rasulullah (Saw) dan para pemimpin Muslim saat ini. Saat ini, para pemimpin melakukan hal yang berlawanan dengan Rasulullah (Saw). Ketika Rasulullah (Saw) berkuasa di Madinah, meskipun merupakan negara kecil yang baru berdiri pada saat itu dan bahkan dianggap lemah oleh musuh-musuhnya, Rasulullah (Saw) mengirim delegasi ke Roma dan Persia, dua negara adikuasa di dunia pada saat itu, mengundang mereka untuk masuk Islam dan tunduk kepada Dien Allah demi keselamatan mereka. Selama masa pemerintahannya, hubungan yang dibangun oleh Rasulullah Saw dengan negara-negara asing semata-mata didasarkan pada akidah Islam, bukan pada keuntungan, apalagi menjalin hubungan baik dengan negara-negara yang memusuhi Islam dan umatnya hanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Sebaliknya, para penguasa Muslim saat ini menjalin hubungan luar negeri untuk alasan-alasan seperti itu, namun tidak pernah ada misi untuk mengajak para pemimpin negara-negara asing tersebut untuk memeluk Islam. Ketika Nabi (Saw) menjalin hubungan luar negeri, dakwah dan jihad selalu menjadi alasan utama.
Sungguh, Kaum Muslim membutuhkan Khilafah yang berjalan di atas metodologi Kenabian yang tidak hanya akan menerapkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya di dalam negara, tetapi juga untuk mengembalikan martabat dan kemuliaan Islam ketika berhadapan dengan negara-negara Kufur. Ketika Khilafah berdiri, insya Allah, kita tidak akan lagi menyaksikan para pemimpin Muslim dengan panik mencari Izzah dari orang-orang kafir seperti yang mereka lakukan saat ini, tetapi kita akan menyaksikan hal yang sebaliknya, yaitu para pemimpin kafir yang akan datang menemui Khalifah dengan penuh penghormatan dan kerendahan hati.
Wallahu A’lam.
Abdul Hakim Othman
Juru Bicara Hizbut Tahrir di Malaysia
==========
https://www.hizb-ut-tahrir.info/en/index.php/press-releases/malaysia/24427.html