KUHP Baru Gusur Islam, Begini Penjelasannya
Mediaumat.id – Penyusunan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang bakal diberlakukan tahun 2026, dinilai untuk ‘menggusur’ Islam lebih jauh.
“Undang-undang ini dibuat kan sebenarnya menindaklanjuti untuk menggusur Islam lebih jauh,” ujar Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Marokidalam Diskusi Hangat: 7 Tokoh Bicara Bahaya KUHP, Ahad (5/3/2023) di kanal YouTube Bincang Perubahan.
Menurutnya, hal sama juga pernah dilakukan penjajah Belanda dalam upayanya memaksakan penerapan Wetboek van Strafrecht for Nederlandsch-Indie atau WVSNI, yang berarti juga KUHP, untuk menggusur hukum Islam dan adat yang ketika itu masih digunakan di negeri ini.
“Kalau kita buka buku perjalanan sejarah penerapan hukum di negeri ini, sebelum ada Belanda datang itu kan masih menggunakan hukum Islam dan hukum adat,” jelasnya.
Bahkan sebagian hukum adat sudah distandarisasi dengan hukum Islam. “Maka muncul istilah adaik basandi syarak,” tambahnya, menyinggung aforisme terkait pengamalan adat dan Islam dalam masyarakat Minangkabau yaitu adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah (bahasa Indonesia: adat bersendikan syariat, syariat bersendikan kitabullah).
Namun, begitu Wetboek van Strafrecht dibawa oleh Belanda ke Nusantara, maka di situlah upaya menggusur hukum Islam dan adat dilakukan dengan cara mengadopsinya dimulai. “Tahap awal digusur itu, hukum Belanda menggusur hukum Islam,” tandasnya.
Namun bersama dengan itu, kata Wahyudi, Belanda mengujinya hanya kepada orang-orang Eropa. Hingga sekian tahun, diperluaslah jangkauannya hingga terhadap warga Cina, India, keturunan Arab maupun Pakistan yang berada di negeri ini. Sementara, pribumi kala itu masih menggunakan hukum Islam dan adat.
Sebagai tambahan informasi, KUHP pada mulanya merupakan Code Napoleon Prancis tahun 1810. Prancis kemudian menjajah Belanda dan memberlakukan KUHP. Kolononisasi kemudian berlaku di Belanda.
Akhirnya Negeri Kincir Angin itu pun memberlakukan KUHP pada tahun 1881 dan membawanya ke Indonesia untuk menggusur seluruh hukum yang ada di Nusantara, dari hukum adat, hingga hukum pidana agama.
Berikutnya, kata Wahyudi lebih lanjut, tatkala mencoba menerapkan KUHP kepada pribumi yang notabene masih menerapkan hukum Islam dan adat, seketika terjadi penolakan keras dari kaum Muslim.
Lantaran itu, mengutip hasil kajian Christiaan Snouck Hurgronje, sarjana Belanda bidang budaya Oriental dan bahasa serta penasehat urusan pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda kala itu, Wahyudi menyampaikan, bahwa Islam memang tidak bisa ditekan.
Sehingga dibentuklah dua penerapan hukum yaitu hukum positif dan Islam. “Maka muncul dua pengadilan itu. Pengadilan umum dan pengadilan agama,” tandasnya.
Artinya, jika saat ini ada anggapan masih untung ajaran Islam khilafah yang dipersoalkan, bukan shalat, puasa atau haji, Wahyudi menyampaikan bahwa yang harus dipahami umat, upaya penggusuran dimaksud pernah dilakukan bertahap.
“Yang harus dipahami, ini kan penggusuran secara bertahap,” tegasnya, seraya mengatakan bahwa ajaran Islam lainnya juga sangat berpotensi bakal dipersoalkan menggunakan KUHP yang baru ini terutama dengan Pasal 188 ayat 1 sampai 5.
“Pasal-pasal yang paling krusial itu yang kita lihat kenapa digusur itu kan spiritnya ada di 188,” terangnya.
Sedangkan pasal-pasal seputar HAM, perzinaan maupun penyampaian pendapat di muka umum, menurutnya hanya kamuflase agar semua orang ribut di situ.
Dengan demikian, umat seharusnya memandang seluruh ajaran Islam sebagai satu kesatuan yang tidak boleh diganggu sedikit pun. “Ajaran Islam harus diposisikan, dia tidak boleh diganggu dan dipersoalkan sama sekali,” pungkasnya.[] Zainul Krian