Mediaumat.id – Dijadikan delik aduan atas perbuatan zina dan kohabitasi atau kumpul kebo di dalam RKUHP yang sudah disahkan menjadi undang-undang, dinilai akan membuka gerbang amoralitas yang makin besar.
“Ini akan membuka gerbang amoralitas semakin besar karena mereka yang kumpul kebo bisa selamat dari jeratan hukum,” ujar Pembina Komunitas Dakwah Islam Rizqi Awal kepada Mediaumat.id, Selasa (6/12/2022).
Artinya, perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan atau perkawinan, bisa diproses hukum jika ada aduan. Ujung-ujungnya, mengutip ucapan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, aparat penegak hukum, satpol PP misalnya, tak bisa kemudian melakukan penggerebekan.
“Kalau delik aduan, enggak bisa Satpol PP melakukan penggerebekan,” kata Edward di salah satu acara Political Show, Senin (28/11).
Jelasnya, sebagaimana di dalam naskah RKUHP terbaru per 30 November 2022 yang diakses dari laman https://peraturan.go.id/site/ruu-kuhp.html, tindakan zina bisa diusut jika ada aduan dari pihak yang dirugikan. Pelanggar bisa dipenjara maksimal 1 tahun seperti diatur di Pasal 411.
“Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II,” demikian bunyi pasal 411 ayat (1) RKUHP, yang meski banyak pihak menolak, DPR RI dan pemerintah tetap mengesahkannya menjadi undang-undang dalam rapat Paripurna yang digelar di kompleks parlemen, Selasa (6/12).
Menurut Rizqi, hukuman maksimal yang hanya setahun penjara itu, enggak bakalan menjadi efek jera. “Tidak ada efek jera,” tandasnya, seraya menambahkan akan membuat generasi Muslim akan makin jauh dari Islam.
Sementara itu, larangan kumpul kebo yang dicantumkan pada pasal 412. Sedangkan pelaku kumpul kebo hanya diancam hukuman penjara paling lama enam bulan.
Dua pasal itu sekali lagi menegaskan pidana zina dan kumpul kebo adalah delik aduan. Hanya suami atau istri yang bisa melaporkan pelaku yang sudah menikah.
Pun bagi pelaku yang belum menikah, di dalam KUHP yang baru itu juga mengatur aduan yang hanya bisa dilakukan orang tua atau anak. Perwakilan pengaduan seperti yang diatur pasal 25, 26, dan 30 tidak berlaku untuk pidana ini.
Bagaimana dengan L68T?
Mengutip dari berbagai sumber, pemerintah dan DPR sepakat tidak mengkriminalisasi perbuatan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (L68T). Dalam draf sebanyak 624 pasal itu, tidak ada pasal yang mengatur mengenai L68T.
“Undang-undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,” demikian bunyi Pasal 624.
Keinginan agar L68T masuk sebagai bagian delik pidana sudah lama didengungkan. Sekelompok masyarakat meminta MK mengkriminalisasi L68T. Perdebatan berjalan sengit hingga akhirnya MK angkat tangan dan menyerahkan proses kriminalisasi L68T ke DPR.
“Perihal perlu atau tidaknya dilengkapi, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang melalui kebijakan pidana (criminal policy)-nya yang merupakan bagian dari politik hukum pidana. Oleh karena itu, gagasan pembaruan yang ditawarkan para pemohon seharusnya diajukan kepada pembentuk undang-undang dan hal tersebut seharusnya menjadi masukan penting bagi pembentuk undang-undang dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru,” demikian pertimbangan MK.[] Zainul Krian