KTT SCO di Islamabad Geopolitik di Bawah Persaingan AS-China

Di bawah langkah-langkah keamanan yang ketat di Islamabad, KTT Organisasi Kerja Sama Shanghai, Shanghai Cooperation Organization (SCO) ke-23, seperti biasanya dimulai dengan pecahnya kehebohan media. Pertemuan tersebut dihadiri oleh negara-negara penting seperti China, Rusia, India, Pakistan, Iran dan beberapa negara Asia Tengah. KTT ini diakhiri dengan penandatanganan delapan dokumen yang mencakup anggaran organisasi dan operasional sekretariat SCO, serta upaya penanggulangan terorisme regional. Hal paling mencolok dari pertemuan tersebut adalah persetujuan bulat atas China untuk menjadi pemimpin organisasi tersebut periode 2024-2025, dan penegasan bahwa Rusia akan menjadi tuan rumah berikutnya. Bagi pengamat yang kurang informasi, pertemuan puncak ini nampaknya menegaskan ambisi SCO untuk menjadikan dirinya sebagai blok geopolitik utama. Namun, di balik pengumuman besar tersebut, tidak ada hal yang penting.

Menariknya adalah bahwa SCO gagal untuk mengambil sikap yang kuat terhadap Barat, terutama Amerika dan NATO. SCO tidak mengadopsi sebuah resolusi yang memperingatkan entitas Yahudi dan Amerika, seperti mengambil tindakan pembalasan yang keras jika Iran diserang, dan anggota SCO tidak memberikan dukungan tanpa batas terhadap perang Rusia melawan Ukraina yang didukung NATO. Mungkin yang paling mengecewakan adalah tidak adanya kerja sama apapun yang mendukung China untuk menghadapi mobilisasi militer AS yang menakutkan di Lingkar Pasifik, padahal Moskow dan Beijing sudah lama berharap bahwa SCO suatu hari akan menyaingi NATO dan menolak “tatanan berbasis aturan” Barat, namun untuk mewujudkan itu Moskow dan Beijing mungkin harus menunggu sampai waktu yang belum diketahui.

Kurangnya persatuan di antara negara-negara anggota merupakan cerminan dari semakin dalamnya persaingan yang melemahkan kemampuan SCO untuk mempengaruhi politik regional, namun yang lebih penting melemahkan peluang China dalam bersaing dengan Amerika untuk mendominasi global. China mengharapkan organisasi-organisasi seperti SCO dan BRICS untuk membantunya menghadapi hegemoni Amerika di Eurasia. SCO merupakan komponen penting dari Belt and Road Initiative (BRI) Beijing yang lebih luas, yang bertujuan untuk memperluas pengaruh China melalui proyek infrastruktur di seluruh Eurasia. Namun, hal ini menimbulkan masalah bagi Rusia, karena Belt and Road Initiative (BRI) melanggar lingkup pengaruh tradisionalnya di negara-negara Asia Tengah. Meskipun terdapat hubungan erat antara Moskow dan China, karena taktik agresif AS dalam menggunakan Ukraina melawan Rusia dan upaya keras AS untuk mengepung China, maka saling ketidakpercayaan yang mendalam antara kedua tetangga yang berakar pada Pemberontakan Boxer tahun 1899 sulit diatasi.

Lalu ada perselisihan terbaru antara China dan India, yang meluas hingga ke Himalaya, Samudera Hindia, Lingkar Pasifik, dan luar angkasa. Jauh dari sebagai negara adidaya, permusuhan antara India dan Pakistan telah mengakibatkan empat perang, pertempuran perbatasan meningkat antara Iran dan Pakistan, serta konflik perbatasan yang sedang berlangsung antara Kirgistan dan Tajikistan, terus melemahkan tujuan yang ditetapkan oleh SCO, sehingga organisasi mengalami dilema perhitungan keseimbangan kekuatan. Kirgistan dan Tajikistan bersaing untuk memperkuat hubungan dengan Rusia dengan mengorbankan satu sama lain. China berupaya mendukung Pakistan melalui koridor ekonomi China-Pakistan dan senjata militer, sementara India berupaya memperluas hubungan dengan Iran dan Rusia dalam menghadapi ancaman dari Pakistan. Ketidakseimbangan perdagangan yang serius antara raksasa perekonomian China dan negara-negara anggota lainnya memicu keluhan lokal terhadap impor murah buatan China. Akibatnya, SCO mengalami perpecahan dalam bidang keamanan dan ekonomi, namun yang mengancam disintegrasi seluruh organisasi adalah hubungan strategis antara India, Amerika, dan Eropa.

Terlepas dari upaya keras China, kemungkinan besar SCO akan seperti BRICS, tidak akan memberikan tantangan signifikan terhadap supremasi Amerika di kawasan dan sebagai penyeimbang terhadap NATO. Bayangan Amerika sangat besar menyelimuti SCO, melalui India dan Pakistan, Amerika mungkin berupaya untuk semakin melemahkan SCO. Akibatnya, aspirasi China untuk menyingkirkan hegemoni Amerika dari Eurasia menemui perlawanan yang signifikan.

Yang paling mengejutkan adalah bahwa enam dari sepuluh negara anggota SCO adalah negara-negara Islam, sedang India dan China juga memiliki jumlah penduduk Muslim yang besar. Oleh karena itu, pertanyaan yang muncul adalah mengapa kaum Muslim ingin mencapai keamanan dan kesejahteraan dalam sebuah organisasi yang didominasi oleh China dan mitra juniornya, Rusia, yang keduanya merupakan musuh bebuyutan umat Islam?! Pendudukan brutal di Afghanistan dan penghancuran Grozny oleh Rusia, serta perlakuan brutal terhadap warga Uighur adalah kejahatan yang tak terhapuskan yang tidak bisa dimaafkan atau dihapuskan dari ingatan umat Islam. Terlebih lagi, kedua negara tersebut tidak layak untuk menjadi pemimpin, bahkan keduanya belum mampu melakukan mobilisasi secara kolektif untuk mengeksploitasi rasa malu global dan bencana moral yang menimpa Amerika sebab dukungannya terhadap pembantaian etnis di Gaza yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, serta keduanya tidak mampu mengganti sistem yang tegak berdasarkan aturan-aturan bobrok.

Jika kaum Muslim melihat sejarah kejayaannya, maka mereka akan menemukan bahwa periode kesuksesan ekonomi dan keamanan terbesar di kawasan Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) adalah ketika kawasan tersebut berada di bawah kekuasaan Islam. Khilafah Rasyidah, Khilafah Umayyah, Khilafah Abbasiyah, lalu Kesultanan Seljuk, dan Kesultanan Timuriyah adalah contoh dari jaringan perdagangan yang berkembang pesat, kemajuan ilmu pengetahuan, dan stabilitas politik, sehingga periode pertumbuhan di bawah pemerintahan Islam ini menjadi contohnya. Contoh-contoh ini kontras dengan konflik yang dihadapi oleh negara-negara SCO di era modern, yang banyak di antaranya mengalami ketidakstabilan politik dan ekonomi karena keberpihakan mereka pada negara adidaya.

Jelaslah bahwa kaum Muslim di kawasan SCO harus kembali ke Islam dalam segala hal yang berhubungan dengan masalah mereka, jika tidak, maka mereka akan terus menderita penghinaan dan pelecehan akibat sebagai subordinasi negara adidaya. Allah SWT berfirman:

﴿وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِيناً فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ﴾

Siapa yang mencari agama selain Islam, sekali-kali (agamanya) tidak akan diterima darinya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (TQS. Ali Imran [3] : 85).

Satu-satunya solusi terhadap konflik-konflik yang terjadi antar negara-negara di kawasan, termasuk perselisihan antar negara-negara SCO, adalah dengan sistem Khilafah yang akan menyatukan negara-negara Islam yang tergabung dalam organisasi tersebut, yang pada gilirannya akan terjadi penaklukkan dan penyatuan kembali negara-negara Asia lainnya di bawah Khilafah Islam seperti sebelumnya. []  Al-Ustadz Abdul Majeed Bhatti

Sumber: alraiah.net, 23/10/2024.

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: