Mediaumat.news – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengungkapkan bahaya UU Omnibus Law Cipta Kerja bagi buruh. “Substansinya meniadakan hak warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak,” ujar Wakil Presiden KSPI Ir. Iswan Abdullah, M.E. dalam acara Diskusi Online Media Umat “Omnibus Law Sungguh Cilaka” Ahad, (11/10/2020) malam di akun Youtube Media Umat.
Karena, lanjut Iswan, UU ini mengurangi atau menghilangkan pesangon. Sebelumnya, di UU No. 13 tahun 2003, kalau pekerja bekerja hingga pensiun, ia berhak mendapat pesangon sebesar 32 kali upah. Sekarang, dengan Omnibus Law diturunkan dari 32 ke 25. Selain itu, yang diregulasi hanya 19 kali, yang 6, dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan. Hak pesangon karena PHK, hak pesangon ahli waris juga dihilangkan.
Bahaya lainnya terkait upah minimum. Menurut Iswan, upah minimum memang tidak sepenuhnya dihapus, tapi yang ada tinggal upah minimun provinsi, bukan kabupaten atau daerah. Hal ini menurut Iswan akan menyebabkan terjadinya penurunan tingkat upah. Padahal, standar hidup di masing – masing daerah di provinsi yang sama bisa berbeda.
“Misal Jawa Barat, di Majalengka upah minimumnya 1,8 tapi Bekasi 4 jutaan. Nah dengan UU ini nanti bisa jadi sama,” bebernya.
Selain itu, upah minimum sektoral juga akan hilang. Menurutnya, tidak bisa pekerjaan yang membutuhkan skill tinggi dengan pengoperasian teknologi canggih disamakan dengan pekerjaan yang bersifat kasar. Dengan UU ini, pemerintah seolah kontraproduktif dengan filosofi dari upah minimum yakni sebagai jaring pengawas agar masyarakat tidak miskin secara absolut.
Selanjutnya, bahaya diaturnya upah persatuan hasil dan waktu. Dengan adanya pengaturan ini, maka peran negara sebagai job income security akan hilang. “Kalau ini terjadi, sudah bisa dipastikan masyarakat Indonesia akan punya penghasilan di bawah minimun. Hotel-hotel itu tidak perlu mempekerjakan per hari, cukup jam-jam padat saja jadi upahnya turun. Satuan hasil juga, berpotensi memindahkan produksi formal ke rumah tangga, karena hitungannya hasil. Maka, job income security ini hilang,” tutur Iswan.
Padahal, pada UU no 13 tahun 2003, pekerja waktu itu ada syaratnya. Dengan UU ini, syarat-syarat tersebut dihapuskan. “Artinya, angkatan kerja ke depan tidak punya pekerjaan tetap. Balik lagi, job security dari negara hilang. Ini bahaya,” tegasnya.
Bahaya selanjutnya adalah mengenai penggunaan outsourcing. “Penggunaan outsourcing. Di UU no 13 tahun 2003 hanya beberapa pekerjaan yang boleh memakai tenaga outsourcing. Yang sifatnya bukan core bisnis, hanya pendukung. Tapi Omnibus Law membuka outsourcing pada semua pekerjaan. Yang bahanya, bisa terjadi legalisasi perbudakan. Kalau tidak ditolak, sudah tidak sesuai dengan keadilan sosial. Jadinya, bukan hubungan perusahaan pemberi kerja dan pencari kerja. Tapi perusahaan ke perusahaan outsourcing. Maka, nanti bagaimana jaminan pekerjanya? Outsourcing ini kan cuma fee,” ungkapnya.
Kemudian, lanjut Iswan, bahaya juga terdapat dalam urusan PHK. Dalam UU no 13 tahun 2013, PHK ini diatur oleh negara sehingga perusahaan tidak bisa seenaknya melakukan PHK. Dalam Omnibus Law, PHK bisa dilakukan sesuka perusaahaan. “Yang aneh, perusahaan dan pekerja bisa melakukan kesepakatan tentang PHK. Di mana peran negara?” bebernya.
Selain itu, hak cuti panjang juga dihilangkan. Dalam UU sebelumnya, ungkap Iswan, ketika pekerja mengambil cuti panjang semisal karena melahirkan, maka pekerja tetap mendapatkan hak upah cuti panjang. Namun, dalam UU ini peraturan tersebut dihapuskan.
Jaminan sosial para pekerja juga hilang. Menurutnya, kalau sudah menjadi pekerja kontrak, maka berbicara pesangon, jaminan pensiun, jaminan kesehatan dan lain-lain hanyalah mimpi.
Jadi, Iswan menarik kesimpulan bahwa dengan adanya UU ini, negara memang sudah diatur dan dikuasai oleh oligarki. “Tidak mungkin orang waras menerima UU ini untuk lolos. Kecuali tidak waras. Ini juga tanda bahwa negara ini memang sudah diatur dan dikuasai oligarki,” pungkasnya.[] Billah Izzul Islam