Mediaumat.news – Ketua Eksekutif Nasional Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI) Chandra Purna Irawan meluruskan tafsir ngawur ahli hukum administarasi dari pemerintah Prof Dr Philipus Mandiri Hadjon yang tadi pagi di sidang PTUN menyebutkan sanksi administrasi Ormas tidak perlu runut berupa peringatan tertulis dan seterusnya tetapi bisa langsung dicabut SK Badan Hukum Perkumpulannya (BHP) dengan alasan karena prosedur dalam Pasal 61 ayat (1) berupa alternatif.
“Berdasarkan catatan hukum saya, maka keterangan ahli tidak benar dan tidak tepat. Saya menduga ahli dari pihak pemerintah tidak memahami logika kumulatif, logika alternatif dan logika kumulatif-alternatif,” ujarnya usai mengikuti sidang gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atas pencabutan SK BHP-nya secara semena-mena, Kamis (15/3) di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta Timur.
Karenanya, lanjut Chandra, pencabutan status badan hukum baru sah dan legal jika telah mengikuti logika administrasi, berupa peringatan tertulis yang ditindaklanjuti dengan pencabutan status badan hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 61 ayat (1) yang berbunyi: “ Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) terdiri atas: a. peringatan tertulis; b. penghentian kegiatan; dan/atau; c. pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.”
“Jika melihat Pasal 60 ayat (1) huruf a dan b, menunjukkan bahwa sanksi administratif bersifat kumulatif. Artinya, sanksi harus diberikan secara bertahap, tidak bisa langsung loncat ke Pasal 61 ayat (1) huruf c,” ungkap Chandra.
Sanksi sifat alternatif hanya bisa dilakukan setelah melewati Pasal 61 ayat (1) huruf a dan b, dengan ditandai “dan/atau”, itu artinya bahwa pemerintah bisa mengambil tindakan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum, setelah melewati Pasal 61 ayat (1) huruf a dan b.
“Karenanya pencabutan status badan hukum HTI yang dilakukan pemerintah secara sepihak, tanpa pemberian sanksi administratif terlebih dahulu, adalah keliru dan bertentangan dengan hukum,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo