Kronologi Terbunuhnya Enam Laskar FPI versi Polisi Berubah-ubah, Advokat: Publik Bisa Anggap Ada Rekayasa

Mediaumat.news – Menanggapi kronologi meninggalnya enam laskar FPI versi polisi yang berubah-ubah dari awal menyebutkan bahwa enam laskar tewas karena baku tembak lalu dalam rekonstruksi ada empat yang hidup dan tidak ada baku tembak, Advokat Ahmad Khozinuddin menilai penyelidikan polisi bisa dianggap ada rekayasa oleh publik.

“Nah ini yang berbahaya, hasil penyelidikan kepolisian bisa tidak otoritatif dan tidak legitimate. Publik bisa menganggap ada rekayasa dalam reka ulang yang dilakukan kepolisian,” tuturnya kepada Mediaumat.news, Selasa (15/12/2020).

Oleh sebab itu, menurutnya wajar jika Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merasa tidak perlu menghadiri rekonstruksi pihak kepolisian. “Sejalan dengan Komnas HAM, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) juga mempertanyakan hasil rekonstruksi yang dilakukan polisi atas peristiwa bentrok antara anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) dengan polisi di Tol Jakarta-Cikampek KM 50,” ujarnya.

Selain itu, ia mengatakan Kontras juga menyoroti soal polisi yang tidak mengundang pihak korban, dalam hal ini FPI, dalam rekonstruksi tersebut. “Kontras sendiri mendapat undangan dari pihak kepolisian untuk mengikuti rekonstruksi. Namun, Kontras menolak undangan tersebut dengan alasan independensi,” ungkapnya.

Sejak awal, ia konsisten mengusulkan dibentuknya Tim Pencari Fakta Gabungan (TPFG) yang diinisiasi oleh presiden. Baik secara proses maupun hasil akhir penyelidikan, temuan TPFG ini lebih kredibel. “Secara proses, TPFG dapat bekerja secara independen, objektif, profesional, imparsial dan transparan. Sementara hasil penyelidikan akan lebih otoritatif dan legitimate,” ujarnya.

Menurutnya, independen artinya TGPF dapat bekerja bebas dari tekanan atau intervensi dari pihak mana pun. Obyektif, artinya temuan benar-benar berdasarkan pengolahan data dan fakta, bukan rekayasa. “Profesional, karena melibatkan banyak ahli yang expert di bidangnya baik ahli di bidang kesehatan, forensik, ahli militer, psikologi, kriminolog, ahli pidana, dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan. Imparsial maknanya TPFG tidak akan memihak, baik kepada polisi maupun kepada FPI,” jelasnya.

Ia menilai yang paling penting TPFG dapat bekerja secara transparan, publik dapat terlibat mengawasi kinerja TPFG sejak persiapan, pelaksanaan penyelidikan, hingga penyusunan kesimpulan dan rekomendasi. Hal ini tentu sangat berbeda dengan proses penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian.

“Yang lebih penting lagi, hasil dari penyelidikan TPFG dapat bersifat otoritatif dan legitimate. Otoritatif karena dibentuk oleh negara dan melibatkan banyak lembaga (Komnas HAM, ORI, LPSK, DPR RI, dll), dan banyak ahli (pidana, psikologi, militer, kepolisian, dll). Legitimate karena prosesnya dilakukan secara independen, objektif, profesional, imparsial dan transparan,” bebernya.

Jika semua elemen dibiarkan membuat penyelidikan sendiri-sendiri, seperti Komnas HAM membentuk tim penyelidik, polisi melakukan penyelidikan, FPI melakukan penyelidikan, Kontras melakukan penyelidikan, Komunitas HAM Internasional melakukan penyelidikan, menurutnya sudah dapat dipastikan tak akan didapatkan hasil penyelidikan yang otoritatif dan legitimate. “Masing-masing akan bersikukuh dengan temuannya,” ujarnya.

Ia menilai hal ini akan memicu pembelahan di tengah masyarakat yang makin meruncing. “Semua hasil penyelidikan tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan masalah baru,” tandasnya.

Oleh karena itu, meskipun sudah sangat terlambat, ia berharap presiden segera menginisiasi pembentukan TPFG. “Itu kalau Presiden ingin perkara ini terungkap dan mendapatkan kepercayaan masyarakat. Jika tidak, maka praduga adanya dugaan ‘state crime’ sudah pasti akan semakin menguat,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: