Kritik Tajam Seputar Kebijakan Radikal Kemenag Menarik Materi Ujian Tentang Khilafah dan Jihad
Oleh: Fajar Kurniawan (analis senior PKAD)
Heboh! Seluruh materi ujian di madrasah yang mengandung konten khilafah dan jihad dikabarkan ditarik dan diganti oleh Kemenag, mengacu pada ketentuan regulasi penilaian yang diatur pada SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 3751, Nomor 5162 dan Nomor 5161 Tahun 2018 tentang Juknis Penilaian Hasil Belajar pada MA, MTs, dan MI.
Berdasarkan keterangan dari Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah pada Kementerian Agama (Kemenag), Umar, dikutip dari media, Ia menjelaskan yang dihilangkan sebenarnya bukan hanya materi khilafah dan jihad. Setiap materi yang berbau ke kanan-kananan atau ke kiri-kirian juga dihilangkan. Termasuk setiap materi ajaran yang berbau tidak mengedepankan kedamaian, keutuhan dan toleransi juga dihilangkan.
Pertanyaannya apakah ajaran khilafah dan jihad tidak membawa kedamaian? Ini seolah menuding ayat-ayat jihad dalam al Qur’an akan memunculkan sikap radikal. Juga seolah menuding ajaran khilafah yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya anti keutuhan dan kedamaian. Ataukah sesungguhnya yang terjadi adalah Islamofobia dalam pelajaran agama atas nama deradikalisasi?
Mempelajari sejarah perang Rasul dan para sahabat justru dapat mengingatkan kita, sungguh luar biasa Rasul dan para sahabat mati-matian memperjuangkan Islam, yang dengan itu kita dapat merasakan indahnya agama ini.
Seorang Muslim dididik dengan akhlak yang mulia melalui Alquran dan Sunah. Izin berperang barulah muncul di saat umat Islam memang dihadapkan pada kondisi tempur. Dalam kondisi tersebut umat Islam harus membela diri dan agama mereka.
Allah subhanahu wa ta’aala berfirman,
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah…” (TQS. Al-Hajj:39-40)
Dan harus dipahami dan disadari, asas dari agama Islam adalah kedamaian dan menempuh jalan untuk damai. Seperti membalas sikap buruk dengan tidak melayani, memaafkan, bahkan membalas dengan yang lebih baik.
Lalu mengapa Islam mengajarkan berperang? Karena saat itu perang menjadi solusi. Sebagaimana dokter mengambil langkah operasi atau amputasi, karena saat itu operasi dan amputasi menjadi solusi. Jika tidak, maka dokter hanya menyarankan pasiennya istirahat atau minum obat.
Setelah perintah perang turun, nilai-nilai mulia tetap diperhatikan. Perang pun ada normanya: Jangan kamu melampaui batas, Allah benci orang-orang yang melampaui batas. Dan tujuan perang, banyak sekali kebaikan di dalamnya. Yaitu mempertahankan agama dan wilayah mereka.
Sesungguhnya Amerika Serikat berkepentingan dalam proyek deradikalisasi. Karena proyek deradikalisasi adalah topeng yang bisa menyembunyikan kepentingan busuk dunia Barat untuk melanggengkan imperialismenya. Deradikalisasi dianggap sebagai cara efektif jangka panjang untuk mewujudkan tatanan di dunia Islam yang ramah dan mengakomodir ideologi Kapitalis-Sekuler yang mereka jajakan. Dan ini klop dengan sistem sekuler yang dijaga siang dan malam keberlangsungannya oleh para penguasa yang mengekor kepada kepentingan Barat dengan mendapat imbalan pujian dan kemaslahatan sesaat.
Lahirnya BNPT menjadi indikasi jelas, proyek kontra-terorisme adalah proyek “longtime” dengan target-target tertentu, dan pemerintah akan secara kontinyu dan simultan serta melibatkan banyak “energi/element/unsur” menjalankan “road map” yang sudah diformulasikan. Yang tidak boleh diabaikan begitu saja adalah, bahwa Indonesia dengan rezimnya saat ini secara establis telah memposisikan sebagai sub-ordinat kepentingan proyek global “war on terorism” yang digelorakan oleh AS dan sekutunya. Dan target-target proyek di level lokal adalah turunan (break down) dari target-target proyek global.
Sejauh ini pemerintah Indonesia dengan kacamata subyektifnya, radikalisme secara dominan dipandang sebagai gejala yang lahir dari tafsiran teologi yang menyimpang, dan abai terhadap realitas sebagai sebuah gejala sosial dari meluasnya sikap apatisme dan frustasi sosial akibat kemiskinan, ketidakadilan, ketidakpastian masa depan, dan tekanan hidup yang berat. Dan situasi itu korelatif dengan peran imperialisme global yang dikomandani Amerika Serikat. Maka berapapun anak-anak negeri ini yang ditembak mati karena alasan terorisme sesungguhnya tidak akan bisa memadamkan potensi lahirnya “teroris-teroris” baru, jika faktor komplek termasuk didalamnya kedzaliman global oleh dunia Barat terhadap dunia Islam tetap ada dan diabaikan.
Terkait khilafah, sistem ini adalah sistem yang baik dan menghasilkan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya mungkin datang dari Dzat yang Maha Baik, itulah syariah Allah dan pemimpin yang amanah adalah yang mau tunduk pada sistem yang baik itu.
Di sinilah pentingnya mengajarkan materi khilafah kepada generasi muda muslim. Karena hanya dengan sistem berdasar syariah yang dipimpin oleh orang amanah (Khalifah) saja Indonesia benar-benar bisa menjadi baik. Dengan sistem ini pula terdapat nilai transedental (ibadah) dalam setiap aktifitas sehari-hari yang akan membentengi setiap orang agar bekerja ikhlas, tidak terkontaminasi oleh kepentingan pribadi, golongan maupun asing. Memiliki paradigma yang jelas bahwa memimpin adalah amanah dari Allah dan syariah adalah jalan satu-satunya untuk memberikan kebaikan dan kerahmatan Islam bagi seluruh alam semesta, sedemikian kedzaliman dan penjajahan bisa dihapuskan di muka bumi.[]