Kritik Itu Baik (Menyoal RKUHP Pasal 263 ayat 1)
Oleh: Nur Rakhmad, SH.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa jika nantinya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) disahkan oleh DPR dan pemerintah, akan berpotensi berat terhadap tindakan menyampaikan ekspresi. Contohnya, seperti kritik yang dilakukan oleh Ketua BEM UI dapat dikenakan pidana penjara.
Managing Director ICJR, Erasmus Napitupulu mengatakan RKUHP bisa memidanakan Ketua BEM UI Zaadit Taqwa yang memberi ‘kartu kuning’ pada presiden. Dia bisa terjerat Pasal 263 ayat 1. Pasal tersebut berbunyi: Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (http://republika.co.id/berita/nasional/politik/18/02/04/p3ltcv384-rancangan-kuhp-baru-berpotensi-penjarakan-pengritik-presiden)
Keutaman
Kritik itu baik, penguasa janganlah phobia dengan kritik rakyat untuk meluruskan kesalahan mereka. Mengoreksi penguasa yang keliru, termasuk perkara yang maklum bagian dari agama ini. Salah satu hadits yang mendorong untuk mengoreksi penguasa, menasihati mereka, adalah hadits dari Tamim al-Dari –radhiyaLlâhu ’anhu-, bahwa Nabi Muhammad –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
“Agama itu adalah nasihat”
Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi–shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
“Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim)
Di sisi lain, Rasulullah–shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- pun secara khusus telah memuji aktivitas mengoreksi penguasa zhalim, untuk mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya:
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya)
“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath)
Kalimat afdhal al-jihâd dalam hadits pertama merupakan bentuk tafdhîl (pengutamaan), yang menunjukkan secara jelas keutamaan mengoreksi penguasa, menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang berbuat zhalim. Sedangkan dalam hadits yang kedua, orang yang mengoreksi penguasa, lalu dibunuh, maka dinilai sebagai sayyid al-syuhadâ (penghulu mereka yang mati syahid). Kedua kalimat ini jelas merupakan indikasi pujian atas perbuatan mengoreksi penguasa, dalam bentuk ikhbâr (pemberitahuan). Maka, pemberitahuan tersebut bermakna jâzim (tegas). Sebab, jika sesuatu yang dipuji tersebut tidak dilakukan akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran dan runtuhnya pelaksanaan hukum Islam, dan sebaliknya hukum Islam akan dapat terlaksana jika aktivitas tersebut dilaksanakan, maka aktivitas tersebut hukumnya wajib.
Ada perintah dari Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- untuk mengoreksi (muhasabah) penguasa hingga taraf memerangi penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata. Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- memerintahkan para shahabat untuk mengoreksi penguasa dengan pedang, jika telah tampak kekufuran yang nyata. Imam al-Bukhari
“Nabi –shallallâhu ’alayhi wa sallam- mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau, beliau –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda yakni dalam segala hal yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat (kepada Allah dan Rasul-Nya), baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata (dan) memiliki bukti yang kuat dari Allah.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya & Muslim dalam Shahih-nya. Lafal al-Bukhari)
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat” Jawab Rasul.” (HR. Muslim)
Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, al-Hafizh al-Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, “Di dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi di masa depan, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-. Sedangkan makna dari fragmen, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat,” jawab Rasul; adalah ketidakbolehan memisahkan diri dari para Khalifah, jika mereka sekedar melakukan kedzaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah satupun sendi-sendi dasar Islam.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa seorang Muslim senantiasa mengoreksi penguasa dengan tegas.
Walhasil
Hendaknya penguasa melaksanakan nasihat Umar Ra. Ketika Umar bin Khaththab –radhiyaLlâhu ’anhu- berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami”. Penguasa jangan anti kritik dan nasihat, RKUHP pasal 263 ayat 1, UU ITE dan UU Ormas jangan jadi alat bungkam kritik rakyat.[]