Oleh: Wahyudi al Maroky (Dir. PAMONG Institute)
Mengawali pembahasan ini penulis mengajak pembaca membayangkan peristiwa ini. Di tengah Wabah Corona kini, Presiden berpidato dengan penuh wibawa di hadapan rakyat. Di tengah pidato itu, tiba-tiba ada yang mendekat, lalu mengkritik presiden. Dengan lantang ia berkata “Demi Allah jika anda tak menepati janji, maka akan saya ingatkan dengan golok ini, sambil mengacungkan goloknya”.
Kira-kira bagaimana reaksi para pengawal presiden? Lalu bagaimana nasib rakyat yang mengacungkan golok tadi? Silakan anda bayangkan sendiri.
Di zaman yang katanya demokrasi ini, jangankan mengancam pakai golok begitu. Mengkritik dengan kata-kata saja bisa-bisa mengalami nasib dikriminalisasi
Lalu bagaimanakah nasib orang kritis di masa Khalifah Umar?
Suatu ketika Khalifah Umar berpidato/
Seketika itu munculah seseorang dari tengah-tengah masyarakat yang hadir. Orang itu dengan lantang berteriak, “Demi Allah, seandainya kami melihat kebengkokan itu ada padamu maka akan kami luruskan, bahkan dengan pedang kami.”
Mendengar ancaman pedang itu, bagaimana sikap Khalifah Umar ketika itu? Ternyata, Khalifah Umar tidak mengirim polisi dan pengawalnya untuk menangkap orang itu. Membawanya dan mengintrogasiny
Apakah Khalifah Umar, kemudian menelusuri, mencari tahu orang itu dari organisasi apa? Bekerja dimana? Lalu di-stigmatisasi
Ataukah khalifah Umar akan mencari tahu orang itu dari kampus mana lalu menekan rektornya untuk melakukan kriminalisasi. Seperti terjadi pada Prof Suteki, Prof Danil, Dr. Dwi T, Hikma Sanggala, dll.
Di luar dugaan, penangkapan dan ancaman serta kriminalisasi itu tak dilakukan oleh Khalifah Umar. Justru, Khalifah Umar malah berkata, “SEGALA PUJI BAGI ALLAH yang telah menempatkan di negeri ini ada seseorang yang akan meluruskan kebengkokan Umar dengan Pedangnya.”
Ini pelajaran penting bagi para pemimpin jika ingin dikenang sebagai pemimpin besar seperti Khalifah Umar. Ia tak digaji oleh negara. Bahkan harta kekayaannya disumbangkan seluruhnya untuk negara. Tapi ini tentu sulit bagi pemimpin dalam sistem demokrasi yang super mahal saat ini. Mana ada pemimpin yang mau menyumbangkan semua hartanya untuk kas negara.
Namun setidaknya pemimpin sekarang bisa mencontoh Khalifah Umar dalam hal bersedia dikritik. Kalau perlu pengkritik diapresiasi, diberi penghargaan. Bukan malah antikritik dan memusuhi siapa pun yang mengkritiknya meski itu rakyatnya sendiri.
Tentu kita rindu suasana seperti di masa Khalifah Umar. Negeri ini akan hebat jika dikelola dengan amanah dan siap dikritik demi kebaikan bersama.
Rakyat punya kewajiban untuk mengkritik dan menasehati penguasa. Namun tak boleh menghina personal pemimpin.
Menasehati dan mengkritik kebijakan pemimpin itu kewajiban. Namun menghina pribadi pemimpin itu tak boleh. Yang dimaksud menghina pribadi pemimpin itu terkait fisiknya, misal; hitam, putih, kurus, gemuk, keriting, pirang, pendek, cebol, dll. semua yang terkait fisik itu ciptaan Allah dan tak boleh dihina.
Anehnya, hari ini yang menginginkan sosok pemimpin yang tak anti kritik seperti Khalifah Umar malah dikriminalisasi
Walhasil, Kritik di era demokrasi akan berakhir Bui. Sedangkan ancaman pedang di zaman Khalifah Umar justru mendapat Pujian. Inilah ironi demokrasi kini.
Semoga rakyat kita makin cerdas dengan menjalankan kewajibannya mengkritik dan menasehati pemimpinnya. Sekaligus melakukan kewajiban itu dengan tanpa harus menghina personal pemimpinnya. Sehingga tidak ada lagi rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi
Terakhir, di tengah wabah corona ini kita hentikan berbagi kemaksiyatan dan kezaliman. Banyak berdoa dan mohon ampun. Hanya kepada Allah SWT tempat bernaung dan meminta pertolongan. Dengan mentaati perintah-Nya, InsyaAllah, segera diturunkan pemimpin layaknya Khalifah Umar. []. (Disarikan dari buku Golden Story of Umar)
NB; Penulis pernah belajar pemerintahan di STPDN angkatan ke-04 dan IIP Jakarta angkatan ke-29 serta MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.