Mediaumat.id – Kristolog Ustadz Abu Deedat Syihabbuddin menyatakan tidak boleh mengklaim tempat tinggal sebagai rumah ibadah tanpa melakukan perizinan sesuai ketentuan yang berlaku di negeri ini.
“Tidak bisa itu (tempat tinggal diklaim rumah ibadah). Tetap sebagai rumah tempat tinggal,” ujarnya dalam Fokus: Ribut-Ribut Misa Gereja, Benarkah Umat Islam Intoleran? di kanal YouTube UIY Official, Ahad (26/2/2023).
Hal ini ia tegaskan untuk menanggapi kegiatan ibadah jemaat Kristen di Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) yang disinyalir karena tidak memiliki izin sebagai tempat ibadah lantas dibubarkan oleh warga setempat, Kelurahan Rajabasa Jaya Kecamatan Rajabasa Kota Bandar Lampung.
Seperti diinformasikan sebelumnya, alasan pembubaran jemaat gereja pada Ahad (19/2/2023) yang dilakukan oleh Ketua RT Wawan Kurniawan serta sebagian warga setempat, karena rumah tinggal itu memang belum mengantongi izin sebagai rumah ibadah.
Bahkan Ketua RT Wawan menyebutkan, dalam kesepakatan yang ditandatangani oleh Pendeta Naek Siregar gedung itu digunakan untuk tempat tinggal, bukan tempat ibadah. Hal itulah yang membuatnya memutuskan untuk membubarkan ibadah di pekan ketiga.
Sudah Diatur
Namun terlepas sudah diselesaikan secara musyawarah, lanjut Abu Deedat, persoalan pendirian rumah ibadah sebenarnya sudah diatur di dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 9 dan 8 tahun 2006.
“PBM, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 itu mengatur tentang pendirian rumah ibadah,” terangnya.
Artinya, pemerintah sendiri dalam hal ini menteri agama dan menteri dalam negeri telah mengatur bahwa setiap rumah ibadah harus mengantongi izin pendirian. Peraturan ini tertuang di dalam PBM No. 9 dan 8 tahun 2006 yang di dalamnya juga mengatur tentang pendirian rumah ibadah.
Berikutnya, kata Abu Deedat, akan dikeluarkan dua rekomendasi. Pertama, dari FKUB atau forum kerukunan umat beragama. Kedua, dari kementerian agama yang memberikan rekomendasi tentang pendirian rumah ibadah, baik masjid, gereja dan rumah ibadah lainnya.
Adapun mengenai tempat tinggal yang akan dijadikan sebagai rumah ibadah, Abu Deedat menyampaikan pada dasarnya bisa. Namun harus mengajukan perizinan sebagaimana pendirian rumah ibadah baru.
Dengan catatan, tambahnya, izin dimaksud berlaku dua tahun dan tidak bisa diperpanjang. “Itu bedanya antara rumah ibadah resmi dengan rumah ibadah sifatnya sementara,” jelasnya.
Sehingga tentang kasus di Lampung, kata Abu Deedat, kalau perizinannya bukan sebagai rumah ibadah, maka tidak bisa dikatakan sebagai gereja.
“Ketika rumah tempat tinggal lalu diklaim gereja, ini salah, itu menyalahi (aturan pemerintah),” pungkasnya, yang berarti harus mengajukan perizinan terlebih dahulu.[] Zainul Krian