Krisis Semenanjung Korea Menyingkap Kejahatan Politik AS

Oleh: Fajar Kurniawan (analis Senior PKAD)

“Presiden Moon akan mengadakan diskusi mendalam (dengan Trump) tentang cara untuk memecahkan kebuntuan dalam pembicaraan Korut-AS guna memperbaiki hubungan kedua negara,” ujar direktur senior dari Kantor Keamanan Nasional kepresidenan Korsel Nam Gwan-pyo, dikutip laman Yonhap, Ahad (24/9).

Akibat berbagai  sanksi internasional, perekonomian Korea Utara mengalami krisis akut. Kim berusaha menggunakan segala kartu terbaik yang dia punya untuk menegosiasikan hal ini dengan AS dan rezim proxy-nya. Dan Selasa (18/9) Moon melakukan kunjungan resminya ke Korut guna memajukan proses denuklirisasi dan mempromosikan kembali dialog antara Korut dengan AS. Perkembangannya Moon berhasil membujuk Kim untuk menutup fasilitas rudal dan nuklirnya.

Adapun ketegangan di Semenanjung Korea secara konstan bukanlah antara Korea Utara dan Korea Selatan, melainkan antara Amerika dan Cina. Presiden AS sebelum Trump, yakni Obama, telah menuntut Cina agar menekan nilai mata uangnya, Yuan (terhadap dolar). Akan tetapi, Cina dengan keras menolak tuntutan tersebut dengan alasan bahwa masalah tersebut bukan masalah Cina, melainkan masalah dalam negeri Amerika. Akibatnya, neraca perdagangan Amerika mengalami defisit terhadap Cina.

Amerika lalu mengubah perlakuannya menjadi perlakuan bersahabat, jauh dari perlakuan agresif. Akan tetapi, Cina tidak mengubah sikapnya, bahkan tetap bersikeras dengan kebijakannya. Karena itu, Amerika lalu mencetak uang ratusan juta dolar untuk menekan (menaikkan) kurs mata uang Cina, Yuan (terhadap dolar). Amerika berhasil menekannya, tetapi Amerika menghadapi masalah inflasi keuangan di dalam negerinya sendiri dan perekonomiannya bertambah lemah. Cina bertambah kuat dalam menghadapi Amerika. Atas dasar itu, Obama menyatakan, “Amerika menghadapi ambisi-ambisi Cina bukan hanya secara regional.”

Krisis korea selalu diinginkan Amerika untuk memukul Cina ketika Cina menolak keinginan Amerika. Amerika ingin menarik Cina ke medan Perang Korea. Kemudian Amerika hendak memukul Cina dengan dukungan sekutu dan antek-anteknya. Alasannya, karena Cina telah mengancam keamanan kawasan dan regional. Amerika telah memobilisasi negara-negara Asia untuk mengepung Cina.

Oleh karena itu, dalam proyek denuklirisasi Korut direncanakan rezim demokrat AS akan melakukan negosiasi dan diskusi panjang dengan Korea Utara yang dapat diperpanjang selama bertahun-tahun. Namun tampaknya bagi Trump ingin menyelesaikan perjanjian awal dengan cepat dan menyelesaikan masalah dengan Korea Utara, karena dia membuat ancaman dan tidak bisa mundur dari mereka kecuali dengan mencapai sesuatu yang menunjukkan bahwa ia berhasil menundukkan Korea Utara.

Tanpa tekanan China, ancaman Trump tidak akan menghasilkan KTT G7 dan Korea Utara mengumumkan kesediaannya untuk pelucutan senjata nuklir dan menandatanganinya. Trump merasa mencatat kemenangan bersejarah yang bisa membuatnya sukses di putaran kedua pemilihan presiden AS ketika itu terjadi dalam lebih dari dua tahun dan mencakup semua skandal yang telah diajukan terhadap dirinya dan belum berhenti sejauh ini, dan tuduhan kegagalan dan kritik orang lain atas keangkuhan dan kebodohannya. Hal ini dibuktikan oleh kata-kata Trump sendiri: “PBB mengatakan kepada saya bahwa negaranya sudah menghancurkan fasilitas uji coba rudal … Kami akan mencabut sanksi ketika kami mengambil langkah-langkah penting tentang masalah perlucutan senjata nuklir … Kami belum menyerah apa pun selama negosiasi … Kami akan menghentikan manuver militer yang menargetkan Korea Utara.”

Watak politik Amerika Serikat tidak mematuhi perjanjian apa pun dan dengan cepat menarik atau meninggalkannya jika yakin bahwa kepentingannya mengharuskan untuk menarik dan membatalkan perjanjian. Itu dilakukan dengan Korea Utara pada tahun 2003 di bawah George W. Bush, dan mengundurkan diri dari perjanjian 1994 yang ditandatangani oleh Bill Clinton. Dan Trump, telah menandatangani pernyataan bersama dengan sekutunya di KTT G7 di Kanada dan kemudian memutuskan persetujuannya dan menarik tanda tangannya satu hari kemudian. Dia mematahkan kesepakatan nuklir Iran yang ditandatangani oleh negaranya di bawah Obama pada tahun 2015. Namun berkaitan perjanjian dengan Korea Utara ini akan mengancam Korea Utara untuk menerapkan seluruh strategi AS, baik melalui mulut Trump, maupun kesepakatan dengan Presiden Korsel.

Krisis nuklir Korea tentu saja bukan permasalahan Indonesia. Karena itu, Indonesia wajib tidak berdiri di sisi Amerika ataupun Cina, betapapun upaya Amerika atau Cina untuk menarik Indonesia di sisi masing-masing di antara keduanya. Sebab, berada di sisi Cina ataupun Amerika tidak akan memberikan manfaat bagi Indonesia, baik sekarang ataupun pada masa depan. Indonesia yang merupakan negeri kaum Muslim terbesar di dunia harus menjadi kekuatan yang mandiri, memiliki kehendak yang independen, dan Indonesia memiliki potensi untuk itu.

 

Share artikel ini: