Mediaumat.id – Terkait ancaman krisis pangan dunia yang kian nyata dari tahun ke tahun, Direktur Indonesian Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menyebut kapitalismelah berikut neoliberalismenya yang menjadi akar masalah.
“Kalau ditanya apa akar masalahnya? Yaitu kapitalisme dan neoliberalisme,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Jumat (28/10/2022).
Maksudnya, dari berbagai faktor penyebab krisis pangan di antaranya krisis iklim yang berkelanjutan, terdapat keterkaitan dengan isme-isme itu.
“Ini nyambung dengan neoliberalisme yang memang dipaksakan oleh IMF,” terangnya, menyorot balik letter of intent (LoI) yang ditandatangani oleh Soeharto dengan IMF tahun 1998. Dan salah satu pengaruhnya adalah pengurangan bahkan penghilangan subsidi untuk petani, misalnya.
Untuk diketahui, upaya penghilangan subsidi buat petani itu ternyata melalui program sarana produksi pertanian (saprotan) yang sebelumnya disebut-sebut merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mendukung perkembangan atau kemajuan pertanian terutama untuk mencapai tujuan terciptanya ketahanan pangan.
Padahal disadari atau tidak, dampak dari penghilangan subsidi menjadikan harga pupuk semakin melonjak. “Kenapa pupuk sekarang semakin melonjak? Karena subsidinya enggak ada,” ucapnya, seraya mengaitkan dengan kondisi sekarang yang juga begitu.
Tak pelak, penaikan harga itu pun berdampak pada biaya produksi, padi misalnya, menjadi makin tinggi. “Nah biaya-biaya kan tinggi. Sehingga hasil produksi padi itu kalau bahasa Jawanya enggak nyucuk, enggak imbang dengan biaya produksi yang dikeluarkan,” urainya.
Makanya, ia tak heran kalau banyak petani yang lantas menjual lahannya untuk dialihfungsikan. Atau kalaupun digarap, cenderung bukan untuk ketahanan pangan tetapi holtikultura yang bagi mereka jauh lebih optimal dan menguntungkan.
Sebutlah petani di Jawa yang berharap mendapatkan keuntungan lebih, mereka pun menanam semangka ataupun melon. “Luasan lahan berkurang, akhirnya ini berpengaruh pada hasil produksi (pangan),” cetusnya.
Apalagi kalau melihat jumlah produksi yang selama ini relatif kecil. “Untuk beras saja yang paling tinggi kan Jawa Barat. Jawa Barat hanya 58 kuintal per hektare. Kecil itu,” sebutnya, sembari menyampaikan hitungan dasar dari Dinas Pertanian yang mencapai sekitar 9 ton per hektare dengan varietas padi baik.
Ditambah tidak sedikit petani yang pada akhirnya tidak menjual hasil panennya. Dengan kata lain, mereka sengaja menyimpan gabah untuk kebutuhan pangan sendiri.
Sebagaimana diinformasikan sebelumnya, setiap 16 Oktober memang diperingati Hari Pangan Sedunia. ‘Leave no one behind‘ atau ‘Jangan meninggalkan siapa pun’ adalah tema utama Hari Pangan sedunia tahun ini.
Tema itu mengacu pada ancaman krisis pangan yang kian nyata. Selain krisis iklim, Perang Rusia-Ukraina dan pandemi yang tak kunjung usai juga dinilai menjadi penyebab utama krisis pangan belakangan ini.
“Tentu kalau kita runut semakin jauh ini juga terkait dengan akar masalah,” selanya, dengan mengulas lagi dampak dari perubahan iklim terhadap krisis pangan dunia yang disebabkan oleh kapitalisme.
“Kenapa climate change (perubahan iklim)? Kan emisi karbon. Emisi karbon itu terjadi karena industrialisasi yang ugal-ugalan saya menyebutnya,” ujar Agung.
Sekadar informasi, climate change atau perubahan iklim terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas lainnya di atmosfer yang menyebabkan efek gas rumah kaca.
Maknanya, akibat dari industrialisasi ugal-ugalan yang memang menjadi watak dari kapitalisme itulah yang menjadikan emisi karbon dimaksud meningkat, serta menyebabkan perubahan iklim yang makin cepat.
Tinggalkan Kapitalisme
Di sisi lain sebagaimana pula catatan dari Badan Pangan Dunia (FAO), dari krisis pangan ini terkonfirmasi sekitar 828 juta orang di seluruh dunia mengalami kelaparan pada 2021 yang 40 persennya mengalami kelaparan akut. Jumlah tersebut meningkat 9,8 persen dibanding data 2015.
Bahkan karena ancaman krisis itu, 22 negara diketahui sampai menghentikan ekspor pangan guna memenuhi kebutuhan domestik.
Untuk itu, lebih lanjut Agung menyampaikan, kalau memang menginginkan program ketahanan pangan benar-benar berjalan efektif, baiknya masyarakat meninggalkan kapitalisme berikut neoliberalisme terlebih dahulu.
Lebih jauh, fokus pada peningkatan produktivitas lahan. “Kita betul-betul fokus pada peningkatan produktivitas lahan, baik secara kuantitas maupun kualitas,” tuturnya, yang tentu saja hanya boleh dilakukan negara sebagai satu-satunya regulator.
Dengan cara seperti itu, kata Agung, insyaAllah negeri ini akan mandiri secara swasembada pangan. “Tinggal kita mau atau tidak,” pungkasnya.[] Zainul Krian