Mediaumat.id- Menanggapi krisis Sri Lanka yang semakin parah, Ekonom dari Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Fahrur Ulum, M.E.I. mengatakan, Sri Lanka menjadi negara gagal bayar utang.
“Jadi, Sri Lanka ini termasuk salah satu negara yang gagal bayar utang,” ungkapnya di Kabar Petang: Sri Lanka Bangkrut, Sabtu (25/6/2022) melalui kanal YouTube Khilafah News.
Fahrur mengatakan, utang Sri Lanka 25 miliar US$, setara dengan 18.000 triliun. “Debiturnya sebagian besar dari swasta, kemudian ADB (Asia Development Bank) dan Jepang, kemudian Cina,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan, Cina mempunyai kekuatan hukum untuk mengatur keuangan Cina yang ada di Sri Lanka yang membuat Sri Lanka susah mencari solusi karena Cina tidak mau melakukan pemutihan utang-utangnya.
“Sri Lanka tidak memiliki cukup devisa yang menyebabkan inflasi besar-besaran. Di ritail 17,5%, pangan tembus 25%. Harga beras yang biasanya 96 rupee menjadi 290 rupee,” bebernya.
Akibat inflasi ini, kata Fahrur, sampai ujian sekolah dibatalkan karena tidak punya devisa untuk membeli kertas, listrik dimatikan selama 13 jam sehari, pegawai hanya kerja 4 hari dan sisanya disuruh bertani.
Menurut Fahrur, bulan Juli ini Sri Lanka harus membayar cicilan utang sebesar 1 miliar US$ (setara 732 triliun) tapi tidak ada devisa.
Fahrur menilai, krisis Sri Lanka akan berjalan lama, karena Sri Lanka adalah negara pengekor kapitalis. “Negara pengekor tidak punya cukup banyak senjata untuk keluar krisis. Yang bisa dilakukan paling nambah utang. Apalagi Sri Lanka sudah sangat tergantung pada impor, seperti impor bensin, solar, makanan, obat-obatan,” ungkapnya.
Indonesia
Fahrur mengatakan ada persamaan Indonesia dengan Sri Lanka dalam hal pariwisata. Melalui pariwisata dianggap sangat mudah mendapatkan devisa. “Tahun 2018 saja ada 2,3 juta kunjungan wisata ke Sri Lanka. Indonesia tahun 2017 – 2018 wisata juga booming. Tapi akhir 2019 wisata jatuh sejatuh-jatuhnya akibat covid-19. Padahal 19% income APBN Sri Lanka dari pariwisata, Indonesia juga hampir sama,” jelasnya.
Perbedaanya, lanjut Fahrur, dari sisi PPN (pajak pertambahan nilai) dan subsidi. Demi meraih cinta rakyatnya, Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa memotong PPN sebanyak-banyaknya, serta memberikan subsidi besar-besaran, meski untuk itu harus berutang.
“Indonesia banyak belajar dari kesalahan Sri Lanka, tidak menurunkan pajak tapi menaikkannya, serta mencabut subsidi, sehingga Indonesia tidak jatuh sebagaimana Sri Lanka,” bandingnya.
Induk
Terkait kemampuan kapitalisme dalam mengatasi krisis, Fahrur menilai itu hanya ‘cocok’ untuk negara induk. “Kapitalisme itu ‘cocok’ diterapkan oleh negara induk, karena kapitalisme itu satu paham yang di dalamnya adalah lahan untuk melakukan imperalisme,” terangnya.
Ia memberikan contoh Amerika dan Cina sebagai negara induk kapitalisme. “Amerika beberapa waktu lalu terjadi inflasi besar, pengangguran meningkat. Sebagai negara induk kapitalis selesai dia dengan cara membuat struktur baru. Blok yang baru kemarin adalah IPEF (Indo-Pacific Economic Framework). Tinggal bikin blok saja akan dapat pasar. Dengan adanya pasar berarti investasi jalan, produksi juga jalan, lapangan pekerjaan juga akan meningkat, pajak bisa diatur. Itu kalau negara induk,” bebernya.
“Cina sebagai negara induk selesai dengan BRI (kegiatan ekonomi, diplomatik Cina) dan OBOR (One Belt One Road). Beberapa negara dia gandeng bikin sebagai negara-negara koloni lalu kemudian dia bermain di situ, bermain investasi, bermain tenaga kerja, mengeruk sumber daya alam,” ucapnya.
Namun lanjutnya, kapitalis bagi negara-negara pengekor, kalau sudah jatuh yang bisa dilakukan adalah tambal sulam dan menyikapi dengan sikap sangat terbatas, seperti menaikkan pajak serta mengurangi subsidi.
“Kapitalisme itu surga bagi negara induk tapi petaka bagi negara pengekor karena merupakan sarana imperalis, sarana eksploitasi terhadap berbagai sumber daya yang ada di negara-negara berkembang,” simpulnya.
Solusi
Fahrur memberikan solusi agar negara tidak jatuh pada krisis ekonomi. “Pertama jangan mengandalkan impor. Kedua jangan ekspor bahan mentah,” lugasnya.
Menurutnya ekspor bahan mentah itu fluktuatif yang berpotensi menjungkalkan ekonomi suatu negara. “Batu bara, sawit, misalnya, kalau harga sedang bagus enggak masalah, tapi saat harga pasaran internasional jatuh, kita sudah terlanjur merencanakan banyak hal, itu bisa terjungkal,” terangnya sambil mengatakan bahwa itu solusi praktis.
Tetapi yang paling pas menurutnya adalah harus kembali pada sistem yang adil, sistem yang lebih menjanjikan dengan pembagian kepemilikan yang jelas, tidak ada eksploitasi, tidak ada penjajahan, yaitu sistem ekonomi Islam.
“Belajar dari Venezuela, belajar dari Kongo, Sri Lanka, mestinya negara-negara pengekor kapitalis itu sadar bahwa dia hanyalah menjadi obyek yang dieksploitasi. Seharusnya mereka bersatu membuat sebuah komunikasi untuk menerapkan ekonomi Islam dalam bingkai sistem Islam,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun