Semangat gerakan kemerdekaan yang muncul karena kegilaan terhadap nasionalisme dan politik identitas sedang menantikan hasilnya di Catalonia.
Selain Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman baru-baru ini kekuatan sentrifugal ini telah tumbuh dengan intens dan telah membahayakan Traktat Roma.
Entah bagaimana jika kemudian elite Eropa menganggap bahwa mereka bisa mengelola hiper-nasionalisme di negara-negara Eropa, sekarang mereka menghadapi regionalisme di dalam negara-negara yang didorong oleh kekuatan penghancur yang sama.
Barbara Loyer, seorang profesor di Institut Geopolitik Prancis di Paris 8 University, mengatakan, “Potensi destabilisasi [di wilayah Eropa lainnya] sangat hebat”. Menurutnya, penggunaan kekuatan militer oleh Madrid untuk mengendalikan kelompok separatis di Catalonia merupakan “berkah bagi regionalisme di Eropa,”
Balkanisasi Eropa adalah prospek nyata dan hukuman mati bagi model Westphalia dari negara bangsa.
Dalam banyak hal, nasib Eropa terkait dengan kegagalan negara model Westphalia yang menjadi model negara bangsa.
Model pengaturan hubungan antara negara dan subjek bergantung pada nasionalisme sebagai kekuatan yang mengikat antara warga negara dengan identitas yang berbeda.
Kekuatan pengikat ini terlalu sering didasarkan pada identitas bangsa atau masyarakat yang dominan di dalam masyarakat.
Di Inggris, bahasa Inggris – menjadi di atas identitas – bahasa Skotlandia, Irlandia dan Welsh sehingga mendikte kekuatan nasionalistik yang dominan.
Dalam keadaan tertentu, identitas bangsa yang dominan lebih dari cukup untuk menjaga bangsa-bangsa itu agar tetap bersama-sama dan bahkan memberi bahan bakar untuk hiper-nasionalisme yang dapat menyebabkan gesekan parah antar luar negara secara eksternal, yang mengakibatkan perang total – PD 1 dan PD 2. Selama masa perdamaian atau periode stagnasi ekonomi yang terus berlanjut dan menjadi kemunduran ekonomi, nasionalisme sering kali menggantikannya dan menyebabkan benturan identitas dengan orang-orang dari daerah lain di negara bagian.
Selain benua Eropa, kekuatan regionalisme serupa dapat ditemukan juga di Amerika.
Pan-Islam merongrong model negara-negara yang diekspor secara artifisial di dunia Islam, dan India – negara demokrasi terbesar di dunia – terus berjuang melawan beberapa gerakan yang menuntut kemerdekaan untuk menjaga agar gagasan tentang India sebagai ibu pertiwi tetap hidup.
Singkatnya, negara model Westphalian sedang menghitung hari, dan diperlukan cara baru untuk mengatur hubungan antara rakyat dan negara.
Uni Eropa, sebuah bentuk Klandestin yang disamarkan sebagai eksperimen post-modern menjadi mangsa atas kekuatan sentrifugal nasionalisme dan regionalisme.
Periode zaman pra-modern kekaisaran-memberikan stabilitas selama berabad-abad namun memberi jalan kepada negara modern yang didirikan berdasarkan nasionalisme.
Dunia membutuhkan alternatif untuk imperium, negara-bangsa dan Uni Eropa, sebagai sarana untuk mengatur hubungan antara rakyat dan negara, dan secara permanen meminggirkan kekuatan nasionalisme dan regionalisme.
Dalam Islam, Sang Pencipta dan bukan bangsa yang dominan, memberikan dorongan yang diperlukan untuk mengikat warga dari sebuah negara.
Islam selama berabad-abad secara alami menekan kekuatan nasionalisme dan regionalisme dengan memberikan kepada warga negara Khilafah identitas yang berbeda untuk dapat sama-sama menikmati hak untuk mendapatkan hidup secara aman, kehormatan, perlindungan terhadap harta benda dan penghidupan, bisa beribadah tanpa mendapatkan penganiayaan dan sebagainya – dan tidak melakukan marjinalisasi dan penganiayaan.
Jika negara Khilafah melampaui batas, warga negaranya akan memperbaikinya.
Saat ini, satu-satunya obat mujarab bagi gesekan berbahaya dari politik identitas yang bermanifestasi menjadi nasionalisme dan regionalisme di seluruh dunia adalah Islam.[]
Sumber: Khilafah.com