Krisis!

 Krisis!

Oleh: Fajar Kurniawan (Analis Senior PKAD)

The Economist Intelligence Unit (EIU) memetakan lima risiko utama yang mengancam perekonomian global tahun ini. Dampak konflik Amerika Serikat-Iran terhadap harga minyak, serta perang dagang antara AS dan Uni Eropa dinilai memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan dengan penyebaran virus corona (Covid-19).

Problem – problem di atas memunculkan kekhawatiran, di samping wabah virus juga menjadi salah satu ancaman terbesar bagi ekonomi global dan mengguncang pasar saham di seluruh dunia. Lembaga dan perbankan besar bahkan telah memangkas prediksi tentang kondisi ekonomi global. Salah satunya Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Dari perspektif ekonomi, masalah utama bukan hanya jumlah kasus COVID-19, tetapi tingkat gangguan terhadap ekonomi dari langkah-langkah penahanan.

Apakah langkah – langkah antisipasi pencegahan krisis global manjur? Tentu tidak. Kita harus memahami, bahwa kebesaran ekonomi Kapitalisme yang diadopsi mayoritas negara hari ini, sekarang mengangkangi perekonomian dunia ternyata tidak tumbuh dari basis ekonomi riil yang mapan, melainkan dari sektor finansial (non-riil) yang sangat rapuh. Sektor finansial yang menjadi andalannya ada dua, yaitu lembaga perbankan dan pasar modal.

Lembaga perbankan diharapkan dapat dijadikan sebagai mesin penyedot uang dari dana masyarakat. Selanjutnya, dana ini akan digunakan untuk kepentingan perusahaan kapitalis. Sebagai lembaga bisnis, perbankan akan selalu dituntut untuk menghasilkan keuntungan yang bersifat pasti (fix return). Dana yang sudah disedot dari masyarakat tidak boleh menganggur, karena perbankan berkewajiban memberikan bunga kepada para penabungnya. Oleh karena itu, bank harus bekerja keras untuk selalu menciptakan kredit, agar uang dalam brankasnya terus menghasilkan bunga yang lebih besar daripada bunga tabungannya. Dari titik ini, sesungguhnya ekonomi Kapitalisme terlalu berani untuk melawan kodrat. Secara kodrati, dunia bisnis itu tidak ada yang bersifat pasti. Bisnis kadang naik, kadang turun, bahkan tidak jarang yang mengalami kerugian. Berkaca pada kasus krisis 2008, dari sinilah malapetaka Lehman dapat diungkapkan. Kredit yang telah digelontorkan Lehman berbuah macet. Siapa yang harus bertanggung jawab?

Mesin andalan kedua adalah pasar modal. Untuk kepentingan pengembangan perusahaannya, kaum kapitalis dapat “menjual kertas”, baik dalam bentuk saham maupun surat berharga lainnya. Namun, dalam perkembangannya, “perdagangan kertas” ini akhirnya terlepas dari akarnya. Mekanisme harga yang terbentuk dalam perdagangan “kertas” ini tidak didasarkan pada kinerja di sektor riil. Harga yang terbentuk hanyalah produk dari permainan para spekulan dengan cara membentuk opini pasar, permainan informasi atau menjual “kredibilitas”. Dengan begitu, harga yang terbentuk hanyalah harga “psikologis” atau artifisial, bukan harga yang riil (Hamid, 2008).

Jika dua lembaga ini digabung, sesungguhnya Kapitalisme telah merajut sarang laba-laba, sangat rapuh. Gubernur bank sentral di negara-negara industri maju kini mulai khawatir melihat perkembangan pasar keuangan yang sudah tidak dapat dikontrol lagi. Mereka baru sadar bahwa sebagian besar dari instrumen hutang saat ini tidak memiliki aturan dan terlalu liar. Begitulah ekonomi Kapitalisme benar-benar tidak menjanjikan apa-apa, kecuali masa depan kebangkrutan.

Sebenarnya sistem ekonomi kapitalis saat ini tengah berada di tepi jurang yang dalam, jika belum terperosok di dalamnya. Semua rencana penyelamatan yang mereka buat tidak akan pernah bisa memperbaiki keadaan, kecuali hanya menjadi obat yang meringankan rasa sakit untuk sementara waktu. Itu karena sebab-sebab kehancurannya berpangkal pada akarnya, bukan hanya robek di dahan-dahannya. Yakni:

Pertama, dengan menyingkirkan emas sebagai cadangan mata uang, dan dimasukkannya dollar sebagai pendamping mata uang dalam Perjanjian Bretton Woods, setelah berakhirnya Perang Dunia II, kemudian sebagai substitusi mata uang pada awal dekade tujuhpuluhan, telah menyebabkan dollar AS mendominasi perekonomian global. Akibatnya, goncangan ekonomi sekecil apapun yang terjadi di AS pasti akan menjadi pukulan yang telak bagi perekonomian negara-negara lain. Sebab, sebagian besar cadangan devisanya, jika tidak keseluruhannya, dicover dengan dollar yang nilai intrinsiknya tidak sebanding dengan kertas dan tulisan yang tertera di dalamnya. Setelah Euro memasuki arena pertarungan, baru negara-negara tersebut menyimpan cadangan devisanya dengan mata uang non-dollar, meski dollar tetap saja memiliki prosentase terbesar dalam cadangan devisa negara-negara tersebut secara umum.

Karena itu, selama emas tidak menjadi cadangan mata uang, maka krisis ekonomi seperti ini akan terus terulang. Sekecil apapun krisis yang menimpa dollar, maka krisis tersebut akan dengan segera menjalar ke perekonomian negara-negara lain. Kondisi seperti akan menimpa uang kertas negara manapun yang mempunyai kontrol terhadap mata uang negara lain.

Kedua, hutang-hutang ribawi (bunga berbunga) telah menciptakan masalah perekomian yang besar, hingga kadar hutang pokoknya menggelembung seiring dengan waktu, sesuai dengan prosentase bunga yang diberlakukan kepadanya. Akibatnya, ketidakmampuan individu dan negara dalam banyak kondisi menjadi problem yang nyata. Sesuatu yang menyebabkan terjadinya krisis pengembalian pinjaman, dan lambannya roda perekonomian, karena ketidakmampuan sebagian besar kelas menengah dan atas untuk mengembalikan pinjaman dan melanjutkan produksi.

Ketiga, sistem yang digunakan di bursa dan pasar modal, yaitu jual-beli saham, obligasi dan komoditi tanpa adanya syarat serah-terima komoditi yang bersangkutan, bahkan bisa diperjualbelikan berkali-kali, tanpa harus mengalihkan komoditi tersebut dari tangan pemiliknya yang asli, adalah sistem yang jelas telah menimbulkan masalah, bukan sistem yang bisa menyelesaikan masalah, dimana naik dan turunnya transaksi terjadi tanpa proses serah terima dan tanpa dasar yang riil, bahkan tanpa adanya komiditi yang bersangkutan. Semuanya itu memicu terjadinya spekulasi dan goncangan di pasar. Begitulah, berbagai kerugian dan keuntungan terus terjadi melalui berbagai cara penipuan dan manipulasi. Semuanya terus berjalan dan berjalan, sampai terkuak dan menjadi malapetaka ekonomi.

Disamping itu, adanya produk derivativasi (turunan) – seperti obligasi kolateral dari hutang (collateralised debt obligations), obligasi hutang pembelian rumah (mortgage debt obligations), penukaran kredit jatuh tempo (credit default swaps) – yang semuanya merupakan sumber terjadinya kegagalan kredit makin memperumit keadaan. Filsafat pemikiran yang mendasari pertumbuhan derivativasi adalah asumsi teoritis bahwa resiko bisa dipindahkan ke lembaga lain yang mampu mengatasinya. Pada prakteknya, derivativasi tidak lain adalah bentuk senjata keuangan penghancur massal. Semua lembaga yang akhirnya bangkrut termakan oleh asumsi tersebut dimana mereka berharap mengambil keuntungan dengan mentransfer resiko ke lembaga lainnya. Yang terjadi adalah mereka justru menumpuk sebatas kertas-kertas tidak bernilai yang memicu timbulnya kerugian yang sangat besar. Ini semua membuka kedok Kapitalisme yang mempromosikan praktik-praktik keuangan semacam ini.

Memang, berbagai pakar dan analis mengurai berbagai alasan yang melahirkan krisis yang terjadi, misalnya peraturan yang longgar, tidak adanya transparansi, kinerja perusahaan yang menilai resiko dan juga sekuritas pinjaman sub-prime yang kompleks. Meskipun faktor-faktor tersebut memang memberikan kontribusi kepada krisis, penfokusan hanya pada faktor-faktor itu justru akan mengesampingkan isu yang jauh lebih besar dan tidak akan mengambil pelajaran dari krisis yang terjadi sebelum krisis yang terakhir.

Krisis yang terakhir, sebagaimana krisis sebelumnya selama 200 tahun terakhir sebenarnya memiliki pola yang mirip, sebagaimana proses terjadinya suatu gelembung, yang membesar, dan kemudian meletus. Ironisnya, orang-orang yang berpartisipasi dalam pembentukan gelembung justru baru menyadari betapa tidak rasionalnya tindakan mereka setelah mengalami pecahnya gelembung. Ada empat tahap terjadinya gelembung ekonomi (bubble economy):

Pertama, pengembangan atau inovasi teknologi atau produk. Bila di masa lampau dahulu pengembangan dan inovasi produk dilakukan seperti dengan pembangunan jaringan kereta api, telekomunikasi, perkapalan, dan perusahaan internet dotkom, kini “inovasi produk” juga dilakukan dalam industri keuangan, yang intinya sebenarnya hanya memainkan riba dan spekulasi (judi).

Kedua, pemasaran produk dengan intensitas tinggi pada masyarakat dengan janji bahwa produk atau inovasi tertentu akan mengubah cara dan gaya hidup secara luarbiasa, yang intinya sebenarnya hanya menawarkan harapan yang didasarkan pada kepercayaan rapuh.

Ketiga, terbentuknya pola perdagangan spekulatif, yang mulai mengenyampingkan akal sehat, mendorong akselerasi pembesaran gelembung. Semua orang dari berbagai latarbelakang ikut-ikutan terjun dalam perdagangan ini. Masyarakat dan para pakar pun dicekoki dengan jaminan bahwa pasar tidak akan jatuh, dan bahwa situasi yang ada berbeda dan tidak akan mengulang krisis sebelumnya. Jaminan seperti ini diikuti dengan adanya ‘inovasi’ keuangan seperti pengembangan produk sekuritas yang kompleks (obligasi hutang kolateral, dimana hutang seseorang dijual kepada pihak ketiga hingga berkali-kali guna mengurangi dan menyebarkan tingkat resiko). Praktik inovasi ini dianggap sebagai revolusi keuangan. Sekali lagi industri keuangan berusaha meyakinkan publik bahwa ‘saat ini adalah saat yang berbeda, dasar pemikirannya jauh lebih solid’.

Keempat, timbulnya kesadaran bahwa inovasi baru yang ditawarkan secara gencar ternyata tidak sebaik yang diharapkan. Uang atau modal yang telah terinvestasi, dan ikut membantu pembesaran gelembung pada tahap sebelumnya, ternyata tidak berhasil menghasilkan keuntungan yang telah dibayangkan sebelumnya. Pada titik ini, gelembung pun pecah dan akibatnya benar-benar melahirkan bencana. Ekses ekonomi telah melahirkan Depresi Besar di tahun 1920an, dan meletusnya gelembung Dotkom ketika perusahaan Dotkom mulai bangkrut karena janji-janji mereka untuk menghasilkan keuntungan ternyata perlu waktu 50 tahun. Kita perlu belajar dari ambruknya perusahaan peminjaman hutang pembelian rumah (subprime mortage) pada bulan April 2007 juga berawal dari informasi, bahwa pasar penjualan rumah di AS memiliki fondasi yang kuat.

Mereka yang bertanggungjawab pada gelembung spekulatif di tahun 2007 sama sekali tidak membayangkan bahwa pada satu hari gelembung itu akan pecah. Di situlah kesombongan mulai timbul. Aktivitas yang menghasilkan keuntungan secara masif dan diikuti oleh bonus dengan yang besar menjadi motor pasar properti. Bahkan ketika mulai ada tanda-tanda keretakan, mereka menyalahkan semua orang kecuali mereka sendiri. Krisis yang terjadi akhir-akhir ini sebenarnya menunjukkan bahwa kekuatan pasar keuangan hanyalah sebatas ilusi saja. Mood kesenangan bisa hilang dalam sekejap, kerugian yang berakhir dengan dipecatnya eksekutif perusahaan.

Walhasil, sifat kapitalisme yang tidak pernah cukup, dan semuanya serba kurang, tidak ada pertumbuhan yang terlalu tinggi, tidak ada spekulasi yang sangat spekulatif, tidak ada gaji yang terlalu tinggi, tidak ada mobil yang terlalu banyak, tidak ada produksi minyak yang terlalu tinggi, semuanya serba kurang, dan harus digenjot semaksimal mungkin. Apa yang Kapitalisme telah ciptakan tidak lain adalah spekulasi,kerakusan, kesombongan dan berfoya-foya.

Itulah sebabnya setiap gelembung selalu berakhir dengan letusan, dan akan terus terjadi secara berulang-ulang, seperti yang saat ini kembali terjadi.[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *